Blog
Bagaimana Keadaan Microbiome Para Astronot Setelah Pulang Dari Misi Luar Angkasa?
May 05, 2021 by Panji Kustiawan
Share
Neil Armstrong. Nama ini tentu tidak asing didengar, kan? Ia merupakan astronot pertama yang tercatat sejarah menginjakkan kaki di bulan. Nah, ngomongin soal astronot, penasaran tidak sih, bagaimana tubuh mereka beradaptasi di sana?
Dalam abad ini, terhitung banyak manusia yang pergi ke luar angkasa untuk misi-misi tertentu, misal melakukan penelitian mengenai luar angkasa. Para astronot menghabiskan kurang lebih enam bulan hingga satu tahun di International Space Station (ISS) atau Stasiun Luar Angkasa Internasional.
Tentunya para astronot ini banyak mengalami berbagai tekanan yang dapat memengaruhi kesehatan dan produktivitas. Tekanan ini didapatkan dari faktor lingkungan, misalnya gaya berat mikro dan peningkatan radiasi hingga tekanan sosial para astronot yang tidak bisa berhubungan dengan manusia lain, seperti isolasi, kecemasan, dan kurangnya jam tidur. Hal-hal tersebut tentunya memberikan dampak kesehatan dari ringan hingga berat pada astronot yang bertugas.
Baca Juga: Benarkah Mood Kamu Dipengaruhi Microbiome?
Ibaratnya, kita yang pindah kota saja pasti akan merasa homesick atau rindu tempat asal, apalagi para astronot yang bukan pindah kota melainkan literally keluar dari bumi, ya?
Dikutip dari International Journal of General Medicine, menunjukkan bahwa banyak astronot melaporkan berbagai masalah kesehatan mulai dari gangguan pencernaan, penyakit pernapasan, iritasi kulit, dan infeksi.
Beberapa dari gejala ini telah dikaitkan dengan melemahnya fungsi kekebalan tubuh seperti yang ditunjukkan oleh pengaktifan kembali Epstein Bar Virus (EBV) dan Varicella Zoster Virus (VZV) selama penerbangan luar angkasa.
Produksi sitokin (salah satu bagian sistem imunitas tubuh) yang berubah termasuk peningkatan jumlah sel darah putih telah diukur selama penerbangan luar angkasa dan terkait dengan imunitas adaptif tubuh manusia yang berubah.
Sebuah studi baru-baru ini yang terdapat dalam jurnal The Journal of Allergy and Clinical Immunology mencatat ruam kulit yang terus-menerus pada seorang astronot di ISS yang juga berhubungan dengan disregulasi kekebalan tubuh.
Baca Juga: 6 Masalah Kulit yang Berasal dari Usus
Selain perubahan fisiologis dan penurunan respon imun yang dialami astronot, gaya berat mikro juga dapat menyebabkan perubahan homeostasis dan biokimia mikroba.
Microbiome merupakan dunia mikroorganisme (jamur, virus, bakteri, archaea) yang hidup di kulit kita, memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan saat kita berinteraksi dengan seluruh dunia.
Hebatnya, ke manapun kita pergi, microbiome tubuh akan berinteraksi dengan microbiome lingkungan baru dan orang yang kita temui, termasuk saat kita ke luar angkasa.
Studi mengenai microbiome manusia menunjukkan bahwa banyak penyakit yang dialami oleh astronot dapat disebabkan atau diperburuk oleh disfungsi microbiome.
Studi microbiome astronot yang dimuat dalam Frontiers in Physiology awal menunjukkan keragaman mikroba yang terkait dengan astronot dan transfer patogen Staphylococcus aureus dari satu astronot ke astronot lainnya.
Sementara studi awal ini mengumpulkan berbagai sampel, mereka dibatasi untuk menyelidiki sebagian kecil organisme yang dapat tumbuh dalam kultur murni. Studi ini menemukan keragaman mikroba yang terkait dengan astronot sebelum, selama, dan setelah misi ruang angkasa jangka panjang di ISS.
Nah, ternyata bukti dalam penelitian ini menunjukkan bahwa perjalanan luar angkasa dapat memiliki dampak sementara dan jangka panjang pada microbiome astronot, dan bahwa perubahan ini terkait dengan perubahan fungsi kekebalan tubuh para astronot.
Baca Juga: Tingkatkan Imunitas dengan Konsumsi 10 Makanan Ini
Dikutip dari laman resmi NASA, ada penelitian untuk melihat interaksi microbiome manusia dengan microbiome lingkungan stasiun luar angkasa. Area microbiome manusia yang dipelajari termasuk usus, saluran hidung, lidah dan kulit dahi, serta lengan bawah. Sampel air liur dan darah juga dipelajari, bersama dengan sampel yang diambil dari lokasi berbeda di dalam stasiun. Lalu bagaimana hasilnya?
Secara mengejutkan, microbiome usus dari sebagian besar astronot menjadi lebih beragam di luar angkasa, meskipun paparan bakteri baru terbatas. Wah, kok bisa ya?
Para peneliti berteori bahwa peningkatan keragaman microbiome usus dapat disebabkan oleh berbagai macam makanan yang tersedia di stasiun luar angkasa.
Peneliti dan ahli makanan NASA bekerja sama dengan astronot untuk fokus pada keseimbangan makanan dengan menyediakan lebih dari 200 pilihan makanan dan minuman untuk memastikan anggota kru memiliki kesempatan untuk mengonsumsi makanan yang beragam, bahkan mungkin lebih sehat dari kita yang tinggal di bumi. Awesome!
Dalam jurnal yang sama disebutkan juga analisis keanekaragaman microbiome sistem pencernaan astronot juga mengungkapkan bahwa komposisi microbiome usus berubah di luar angkasa dan cenderung menjadi lebih mirip antar astronot, meski tidak semua awak kapal menghabiskan waktu misi bersama di ISS.
Sementara banyak penelitian telah menyebutkan penyesuaian microbiome yang cepat untuk perubahan pola makan, kontribusi faktor perancu yang terkait dengan perjalanan luar angkasa (misalnya gaya berat mikro, stres, atau disregulasi kekebalan) tidak dapat dikesampingkan.
Microbiome kulit astronot menunjukkan hasil yang beragam, dengan keragaman microbiome kulit meningkat pada sebagian astronot dan menurun pada sebagian lainnya.
Peneliti mengidentifikasi perubahan microbiome kulit sangat awal selama misi, dan perubahan yang diamati, terlepas dari perubahan keragaman lainnya, adalah pengurangan yang signifikan pada jenis bakteri yang disebut proteobakteri (salah satu filum bakteri yang sanggup bersimbiosis untuk menyemat nitrogen dari udara).
Penelitian menunjukkan bahwa bakteri jenis ini ada pada kulit, berfungsi sebagai perlindungan dari reaksi kulit yang hipersensitif, seperti ruam.
Di luar angkasa, mikroba pelindung ini dengan cepat ‘terkuras’ di kulit astronot, yang mungkin terkait dengan kemungkinan lebih tinggi terjadinya ruam kulit dan hipersensitivitas yang dialami astronot.
Jenis proteobakteri ini ditemukan dalam jumlah yang sangat tinggi di dalam tanah. Nah, karena stasiun luar angkasa adalah lingkungan nonhijau yang tetap sangat bersih, pengurangan kontak dengan bakteri lingkungan bumi dapat mengurangi mikroba ini pada kulit.
Penjelasan kedua yang memungkinkan berkaitan dengan perubahan struktur kulit itu sendiri. Proteobakteri cenderung tetap lebih dekat ke permukaan kulit, jadi jika kulit astronot lebih cepat lepas, proteobakteri dapat dihilangkan.
Baca Juga: Apakah Terlalu Bersih Berdampak Baik untuk Kesehatan Kulit?
Berbeda dengan penelitian yang dimuat dalam jurnal Scientific Reports, penelitian tidak mendeteksi adanya perubahan signifikan pada konsentrasi hormon kortisol (berperan pada penggunaan gula atau glukosa dan lemak dalam metabolisme tubuh untuk menyediakan energi) dalam air liur selama penerbangan ke luar angkasa, meskipun penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa hormon ini meningkat selama misi ke luar angkasa.
Satu penjelasan yang mungkin dari perbedaan ini adalah bahwa kadar kortisol saliva (air liur) mulai tinggi di pagi hari dan menurun dengan cepat di siang hari. Anggota kru yang berpartisipasi, mengumpulkan sampel air liur mereka di awal hari, tetapi waktu pengambilannya tidak tetap.
Jadi, apa kesimpulannya? Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa keadaan microbiome para astronot ketika berada di bumi dan di luar angkasa adalah berbeda.
Hal tersebut tentu dikarenakan faktor lingkungan yang memengaruhi, seperti gaya berat mikro, stres, dan disregulasi kekebalan. Microbiome yang terdapat di tubuh manusia yang dibawa dari bumi juga memengaruhi keadaan microbiome antar sesama astronot.
Tidak heran ya, karena microbiome dan tubuh manusia memang didesain untuk selalu bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Kalau kita pindah rumah saja, microbiome sudah pasti berubah, apalagi pindah ke luar angkasa!
Dari cerita astronot di atas, kita bisa belajar kalau di mana saja manusia berpijak, di situ manusia beradaptasi. How amazing is that?
Bagi kamu yang masih mau baca artikel menarik lainnya seperti artikel ini, yuk mampir ke Nusantics Blog!
Referensi:
Fresh Articles
The most established precision molecular diagnostics company in Indonesia
Find Us
Mon - Fri: 9 a.m. - 6 p.m.
i3L Campus @ Lvl. 3
Jl. Pulomas Barat No.Kav.88, RT.4/RW.9, Kayu Putih, Pulo Gadung,
Jakarta Timur 13210
Contact Us
hello@nusantics.com
+62 (21) 509 194 30
Copyright © 2024 PT Riset Nusantara Genetika, PT Nusantara Butuh Diagnostik. All Rights Reserved.Privacy Policy
© 2024 PT Riset Nusantara Genetika.
Privacy Policy