• Home
  • Blog

share

Bakteri Usus dan Otak Saling Berhubungan, Apakah Kita Dikendalikan Microbiome?

26 Aug 2021

Bakteri Usus dan Otak Saling Berhubungan, Apakah Kita Dikendalikan Microbiome?

Tubuh manusia adalah sebuah sistem yang sangat kompleks dan tidak ada habisnya untuk diteliti. Setiap bagian dari organ dan sel di tubuh kamu terhubung satu sama lain dengan berbagai cara. 

Salah satu koneksi organ yang sedang menarik perhatian para ilmuwan saat ini adalah hubungan antara bakteri usus dan otak. 
Interaksi antara otak dengan usus (gut-brain axis) telah diteliti selama beberapa tahun dan ternyata lebih kompleks dari yang diperkirakan sebelumnya.

Tahukah kamu bahwa sebagai bagian dari organ pencernaan, usus juga berperan dalam melawan mikroorganisme patogen, seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit lainnya? Hebatnya lagi, usus juga membedakan mana bakteri dan mikroorganisme lain yang “sehat” dan menjaga mereka tetap hidup dan tinggal.

Diperkirakan pada setiap gram dalam isi usus manusia, terdapat 1 triliun bakteri yang sebagian besarnya tinggal di usus besar, dengan total kira-kira sebanyak 40 triliun bakteri yang tinggal di usus. Jika dibandingkan dengan jumlah sel yang “hanya” sekitar 30 triliun, jelas bakteri lebih banyak jumlahnya di tubuh kamu.

 

Microbiome dalam Tubuh Manusia

microbiome dalam tubuh manusia


Dilansir dari situs web Medical News Todaypada umumnya terdapat 30 hingga 40 spesies bakteri dalam usus, namun secara total mungkin saja mencapai 1000 spesies bakteri berbeda yang biasanya dirujuk sebagai microbiomeMicrobiome tidak hanya menerima manfaat dari kehangatan dan nutrisi di tubuh manusia, tetapi juga memberikan manfaat.

Microbiome dapat diartikan sebagai sebuah komunitas yang beragam yang hidup dalam sebuah ekosistem dan terdiri dari bakteri, virus, archaea, dan jamur. Inang (tubuh manusia) memberikan microbiome material mentah dan tempat tinggal, dan sebagai gantinya microbiome melindungi dan ikut menjaga kesehatan inangnya.

Baca Juga: 14 Gaya Hidup yang Bisa Mengganggu Microbiome

Tergantung pada spesiesnya, microbiome memiliki peran dalam berbagai proses yang terjadi di tubuh kamu, misalnya memproses serat agar bisa diserap dan digunakan, memetabolisme beberapa jenis zat, berperan dalam sintesis vitamin B dan K, dan lain-lain.

Di sisi lain, para peneliti juga menemukan bahwa komposisi dan keseimbangan 
microbiome usus yang terganggu dapat menjadi faktor penting dalam berbagai kondisi peradangan dan kondisi autoimun.
 

Gut-Brain Axis

gut brain axis


Tak hanya mencerna, microbiome usus ternyata juga dapat memoderasi atau berperan dalam mengendalikan otak dan perilaku kamu. Salah satu contoh paling mudah adalah dengan memberikan sinyal ke otak ketika perut sudah kosong sehingga kamu bisa merasa lapar. 

Ketika ada masalah di sistem pencernaan yang mengganggu proses pencernaan makanan dan penyerapan nutrisi, 
microbiome akan menginformasikan otak. Juga ketika dalam usus terdeteksi serangan patogen, otak juga akan mengetahuinya.

Microbiome usus dan otak berhubungan secara hormonal, immunological (kekebalan tubuh), dan neural (sistem saraf), melalui sistem saraf pusat yang juga mengatur fungsi perut. Secara umum, hubungan antara usus dan otak ini disebut sebagai gut-brain axis.

Walau sekilas terdengar aneh, tapi kamu pasti pernah merasakan beberapa hasil koneksi usus dan otak. Contohnya, ketika kamu merasa stres dan cemas, timbul rasa tidak nyaman pula di perut kamu seperti rasa mulas, mual, atau melilit. 

Koneksi ini tentunya menarik perhatian para ilmuwan untuk meneliti lebih dalam apakah otak yang mengendalikan tubuh, atau justru sebaliknya, 
microbiome selama ini memegang kendali atas otak. 

Beberapa penelitian juga telah menemukan tanda-tanda adanya peran 
microbiome dalam kesehatan mental dan kondisi neurologik (saraf), misalnya autisme, epilepsi, dan depresi. Microbiome diduga dapat berinteraksi dengan sistem saraf dan merilis molekul yang dapat sampai ke otak. Cara-cara microbiome dan otak berinteraksi masih belum dipahami dan diketahui sepenuhnya, sehingga masih terus diteliti lebih dalam.

Walau begitu, ada beberapa teori yang populer tentang bagaimana 
microbiome usus dapat berinteraksi dengan otak. Beberapa di antaranya tertulis dalam Frontiers:

  1. Microbiome berinteraksi dengan sel imun di usus, mendorong sel tersebut untuk membentuk sitokin (protein yang berperan dalam melawan patogen) yang bersirkulasi dari darah ke otak.
  2. Microbiome berinteraksi dengan sel di usus yang memproduksi molekul tertentu dan zat asam amino. Molekul-molekul ini berinteraksi dengan saraf vagus, yang tugasnya mengirim sinyal ke otak.
  3. Microbiome usus memproduksi neurotransmitter (zat pembawa sinyal) dan metabolit yang bersirkulasi ke otak. Sebagian dari zat-zat tersebut kemungkinan mampu mengubah aktivitas sel dalam blood-brain barrier, sebagian lainnya mampu lewat begitu saja.
  4. Pada tahun 2018 University of Alabama di Birmingham melaporkan penemuan bakteri usus di jaringan otak manusia. Walau studi ini belum dipublikasi dan masih banyak menimbulkan reaksi skeptis, laporan ini menunjukkan bahwa entah bagaimana caranya microbiome usus dapat menemukan jalan ke otak.
 

Potensi Pemanfaatan Microbiome

potensi pemanfaatan microbiome

 

Berbagai penelitian menunjukkan adanya kemungkinan microbiome memiliki peran lebih banyak dari sekadar memengaruhi otak untuk berpikir, komposisi microbiome juga menunjukkan berdampak pada perilaku yang mirip depresi dan kecemasan. Komposisi microbiome yang tidak seimbang (dysbiosis) juga ditemukan pada anak-anak dengan autisme.

Dengan diketahuinya koneksi antara 
microbiome usus dan otak, para ilmuwan tentunya menemukan harapan cerah untuk terapi berbagai masalah kesehatan dan kondisi yang berkaitan dengan saraf di masa depan, termasuk terapi autisme.

Dikutip dari 
Nature, Mauro Costa-Mattioli seorang neurobiologis di Texas, secara tidak sengaja menemukan potensi spesies bakteri yang dapat mengurangi gejala autisme. 

Pada percobaan awal ini, ditemukan bahwa masuknya bakteri
 Lactobacillus reuteri ke dalam komposisi microbiome, ternyata dapat mengurangi gejala-gejala autisme. Menurutnya, tidak seperti genetik, komposisi microbiome dapat diubah dengan suplementasi dan antibiotik sehingga berpotensi menjadi cara terapi baru dan sangat menarik untuk diteliti lebih dalam dan dikembangkan.

Baca Juga: Perlukah Konsumsi Suplemen Probiotik untuk Kesehatan Tubuh?

Medical News Today juga menambahkan hasil penelitian yang bernada positif. Pada studi tahap awal, suplementasi menggunakan bakteri Bifidobacterium dan Lactobacillus menunjukkan efikasi dalam memperbaiki perilaku terkait gangguan psikiatri seperti kecemasan, depresi, autisme, gangguan obsesif kompulsif, dan kemampuan memori.

Penelitian terkait 
microbiome dan kaitannya dengan kesehatan manusia masih panjang. Di masa depan, para ilmuwan berharap pengobatan yang spesifik menargetkan microbiome dapat terwujud, tidak hanya untuk pengobatan fisik, tetapi juga kondisi psikologis. Bukan tidak mungkin pula microbiome dapat menjadi salah satu alat diagnosis.

Kita sebagai manusia sepertinya perlu takjub bahwa tubuh manusia ternyata sebagiannya dikendalikan oleh organisme bersel satu yang bentuknya tidak terlihat tanpa mikroskop. Rasanya tak salah kalau kita juga ikut menjaga tubuh dengan asupan yang bergizi dan lebih 
aware dengan berbagai produk yang ramah microbiome.

Masih banyak peran 
microbiome dalam hidup kamu, lho! Kamu bisa main ke Nusantics Blog untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang dunia microbiome atau mampir ke laman Microbiome Storyyuk.

Referensi:

Writer: Agnes Octaviani

Editor: Serenata Kedang