• Home
  • Blog

share

Apa Pengaruh Puasa terhadap Microbiome Usus Kamu?

30 Mar 2021

Apa Pengaruh Puasa terhadap Microbiome Usus Kamu?

Puasa sudah lama dikenal baik untuk kesehatan. Ternyata, ini berhubungan dengan perubahan microbiome usus kita yang terjadi selama berpuasa, lho!

Apa itu 
microbiomeMicrobiome merupakan sekumpulan mikroorganisme yang menghuni tubuh manusia. Terdiri dari jamur, bakteri, virus, archaea, dan lain-lain. Microbiome paling banyak menghuni organ ususmu dan sangat berpengaruh bagi kesehatan tubuh secara keseluruhan.

Nah, berbicara tentang puasa, tentu berhubungan dengan 
microbiome yang ada di usus, ya. Sebab, puasa is all about gut! Memang, seperti apa sih pengaruh puasa terhadap microbiome ususmu?

Puasa atau dikenal dengan bahasa 
kece-nya intermittent fasting, adalah konsep diet berupa pembatasan makan antara 12-24 jam. Jenisnya bermacam-macam, seperti puasa berselang satu hari, pembatasan jam makan, dan puasa keagamaan, termasuk puasa Ramadan.

Puasa Ramadan dilakukan mulai dari matahari terbit hingga matahari terbenam selama bulan suci Ramadan, atau sekitar 30 hari. Sebelum matahari terbit, umat Islam melakukan sahur (makan kecil), sedangkan setelah matahari terbenam, mereka berbuka puasa dengan makan berat.

Ada beberapa jenis 
intermittent fasting yang memperbolehkan minum air putih, tapi puasa dalam agama Islam melarang minum dan makan selama berpuasa. Durasinya sekitar 11-22 jam per hari, tergantung lokasi geografis.

Ternyata, durasi puasa berefek penting pada proses fisiologis dan metabolik pada sampel percobaan. Studi terbaru menunjukkan bahwa puasa harian selama 13 jam meningkatkan kesehatan dan kelangsungan hidup sampel percobaan terlepas dari komposisi diet dan kalori. Namun, penelitian tersebut tidak menyelidiki perubahan 
microbiome usus selama puasa.
 

Penelitian Terkait Puasa atau Intermittent Fasting

penelitian terkait intermitten fasting


Untuk menindaklanjutinya, penelitian yang dimuat di jurnal BMC Microbiology pada 24 Maret 2020 mengukur efek perbedaan lama puasa harian dalam pembentukan microbiome usus pada sampel. Sampel-sampel tersebut berpuasa selama 12, 16, atau 20 jam sehari selama satu bulan (30 hari), lalu disediakan makan tanpa batasan pada bulan berikutnya.

Hasilnya, komposisi 
microbiome usus berubah pada semua jenis intermittent fasting. Namun, berpuasa selama 16 jam menunjukkan perubahan paling signifikan dengan peningkatan jumlah bakteri Akkermansia dan penurunan kadar bakteri Alistipes. Terkait asupan makanan secara kumulatif, tidak ada perubahan berarti pada sampel yang berpuasa selama 12 jam, tapi berkurang banyak pada kelompok 16 jam dan 20 jam. 

Baca Juga: 
8 Fakta Mengejutkan Puasa bagi Kesehatan Kulit

Pada studi sebelumnya, peningkatan Akkermansia muciniphilia diasosiasikan dengan perbaikan metabolik, termasuk berkurangnya akumulasi trigliserida di hati dan meredanya inflamasi di usus. Sementara itu, penurunan kadar Alistipes tampak memperbaiki inflamasi usus.

Temuan ini menunjukkan bahwa efek positif 
intermittent fasting terhadap kesehatan mungkin berkaitan dengan perubahan microbiome usus selama berpuasa. Khususnya, peningkatan spesies bakteri yang dianggap bersifat antiinflamasi serta penurunan spesies yang bersifat proinflamasi. 

Hasil studi tersebut mendukung pendapat bahwa lama puasa perlu dipertimbangkan saat
 intermittent fasting digunakan sebagai strategi untuk mengintervensi pembentukan microbiome usus.
 

Perubahan Microbiome Usus saat Puasa dan Efeknya Terhadap Obesitas

perubahan microbiome usus


Menurut studi yang dipublikasikan di jurnal Turkish Journal of Gastroenterology pada 30 Desember 2019, sampel kotoran partisipan yang diambil di akhir Ramadan menunjukkan meningkatnya bakteri baik Bacteroides fragilis dan Akkermansia muciniphila. Ada 3-5% bakteri Akkermansia pada microbiome orang sehat, tapi proporsi tersebut lebih rendah pada orang yang obesitas.

Peneliti berpendapat bahwa perubahan microbiome usus setelah puasa adalah karena ketahanan spesies bakteri baik seperti Bacteroides dan Akkermansia terhadap perubahan pola makan. Namun, pendapat ini perlu dikonfirmasi oleh studi berskala lebih besar.

Baca Juga: 
Pentingkah Sayur Saat Sedang Diet?

Studi tim Turki juga mengonfirmasi hasil penelitian lain bahwa metaanalisis dan biomarker (penanda biologis) kesehatan metabolik selama puasa Ramadan menunjukkan manfaat terhadap kolesterol jahat (LDL) dan kadar glukosa. Namun, biasanya, serum trigliserida dan kolesterol baik tidak berubah.

Penelitian lain yang dimuat di jurnal 
Cell Metabolism pada 3 Oktober 2017 menunjukkan bukti lain bahwa intermittent fasting mengubah microbiome usus. Perubahan fungsi microbiome tersebut mendorong transisi jaringan adiposa (lemak) putih menjadi cokelat (lemak krem), yang merupakan reaksi yang menguntungkan.

Produk fermentasi 
microbiome usus seperti asetat dan laktat pun meningkat saat puasa. Nah, produk tersebut bersama proses yang terjadi di lemak krem memperbaiki obesitas, resistansi insulin, serta hepatic steatosis (perlemakan hati).

Bagaimanapun, perlu diingat bahwa perubahan 
microbiome berlangsung dalam jangka pendek. Efeknya hilang setelah puasa selesai dan kembali ke pola makan seperti biasa. Apa lagi kalau kamu kalap makan ini-itu saat Lebaran.

Baca Juga: 
Perlukah Konsumsi Suplemen Probiotik untuk Kesehatan Tubuh?

Karena itu, mau saat masa Ramadan atau bukan, tetap usahakan jaga asupan makanan, terapkan pola hidup sehat, kelola stres sebaik mungkin, dan istirahat secukupnya, ya. Supaya, microbiome usus tetap terjaga keseimbangan dan variasinya, kesehatan pun jadi terjamin.

Nusantics pun sangat mendukung kesehatan 
microbiome tubuhmu, dengan terus mengajak kamu menerapkan gaya hidup sehat dan memilih bahan-bahan alami yang ramah microbiome dan lingkungan. Penasaran dengan informasinya? Mampir yuk ke Nusantics Blog!

Referensi:

Writer: Fitria Rahmadianti

Editor: Serenata Kedang