Blog
Dampak Sisa Makanan yang Dibuang terhadap Lingkungan
December 04, 2021 by Lintang Zahrima Kalsum
Share
Ayo, siapa di antara kamu yang sering menyisakan makanan? Selain mubazir, tahukah kamu jika sisa makanan ternyata punya dampak buruk bagi lingkungan? Bukankah makanan termasuk sampah organik yang mudah terurai? Kenapa bisa punya dampak buruk, ya?
Sebelumnya, yuk kenalan dulu dengan microbiome. Microbiome adalah sekumpulan mikroorganisme hidup yang terdiri dari bakteri, jamur, virus, archaea, dan lain sebagainya yang keberadaannya sangat bermanfaat untuk kelangsungan hidup manusia. Microbiome ada di mana-mana termasuk di lingkungan, baik di tanah, air, bahkan udara.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020 menyatakan bahwa sampah makanan merupakan jenis sampah terbanyak yang timbul di Indonesia.
Sekitar 39,8 persen dari seluruh jenis sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia adalah sampah sisa makanan sedangkan ini sangat bertolak belakang pada sekitar 8,34% penduduk Indonesia yang masih mengalami kekurangan pangan.
Padahal, membuang makanan sama dengan membuang sumber daya yang ada di makanan itu. Dari mulai sumber daya saat penanaman dan perawatan (jika itu berasal dari sayur dan buah-buahan), sumber daya pengelolaan peternakan (jika itu berasal dari hewan), sumber daya pengangkutan (transportasi), sumber daya pengemasan (jika dibungkus menggunakan plastik, kertas, dan lain sebagainya).
Berdasarkan jurnal berjudul Spaghetti soup: The complex world of food waste behaviours, diungkapkan limbah makanan yang dihasilkan di rumah tangga menjadi penyumbang besar jumlah total limbah makanan di negara maju dan menjadi penyebab permasalahan global seperti emisi gas rumah kaca, borosnya penggunaan energi, penggunaan lahan yang semakin meningkat, isu ketahanan pangan, dan air.
Baca Juga: Bagaimana Microbiome Berkontribusi Terhadap Kesehatan Lingkungan?
Dari penelitian Biology and Fertility of Soils, diungkapkan komunitas microbiome di tanah biasanya paling banyak di tanah rizosfer. Tanah rizosfer adalah tanah di sekitar akar tanaman di mana interaksi kompleks terjadi antara akar, tanah, dan mikroorganisme.
Sedangkan komposisi microbiome tanah pun sangat beragama karena kondisi tanah yang heterogen. Sehingga tanah mengandung berbagai habitat microbiome berbeda yang dapat diukur dari karakteristik tanah, lokasi, pH, iklim, dan ketersediaan karbon organik. Dalam 1 gram tanah terkandung ribuan taksa mikroba individu menurut Nature Reviews Microbiology.
Sisa makanan akan mengganggu microbiome di tanah karena adanya pertemuan patogen (bakteri penyebab penyakit) dari sisa makanan yang terbuang. Sedangkan microbiome tanah sendiri adalah komponen kunci dari ekosistem alami dan ekosistem yang dikelola.
Jika microbiome tanah terganggu akibat bakteri patogen maka peran microbiome untuk kesuburan tanah, produksi tanaman dan merespon perubahan lingkungan akan terganggu.
Sejatinya, hampir semua makanan yang diproduksi pasti menggunakan air, entah untuk pembersihannya atau proses produksinya. Jika makanan terbuang, penggunaan air juga akan terbuang sia-sia.
Sedangkan di samping itu, kebutuhan air bagi tiap manusia juga sangat banyak yakni mencapai sekitar 15 sampai 20 liter per hari menurut WHO.
Sampah sisa makanan terutama minuman juga berdampak bagi kesehatan dan kualitas air bersih. Bayangkan saja berapa banyak produsen minuman kemasan yang menyetok swalayan dan berapa banyak minuman terbuang yang tidak laku di pasaran karena sudah kedaluwarsa. Bijak dalam memproduksi minuman adalah salah satu langkah yang baik untuk menanggulangi dampak.
Baca Juga: Dampak Sampah Plastik Terhadap Microbiome di Air
Dampak lingkungan lain yang ditimbulkan dari terbuangnya sisa makanan adalah pengaruhnya terhadap udara. Tentu saja microbiome udara akan terganggu. Mulai produksi makanan hingga makanan terbuang ke area pembuangan ternyata sangat berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca.
Contohnya sapi yang dipelihara sebagai ternak ternyata menghasilkan gas metana dan emisi dari kendaraan yang mengangkut ternak dan makanan menghasilkan karbon dioksida.
Masalah ini berlanjut sampai makanan yang terbuang ke area pembuangan. Di area pembuangan sampah, makanan yang membusuk akan menghasilkan gas metana (bagian dari senyawa hidrokarbon dan merupakan komponen utama gas alam).
Artinya, makanan memang menjadi masalah serius karena dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan. Menurut Annual Review Journal, perhitungan yang dilakukan pada tahun 2008 mendapatkan hasil bahwa sistem pangan berkontribusi menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 19%–29%, antropogenik global, melepaskan 9.800–16.900 megaton setara karbon dioksida (MtCO2e) pada tahun 2008. Jika kita berhenti membuang makanan, kita dapat mencegah 11 persen emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sistem pangan.
Program dalam rangka mendukung Penerapan Ekonomi Sirkular dan Pembangunan Rendah Karbon, pemerintah melakukan langkah yang salah satunya melalui kajian Food Loss and Waste (FLW).
Pengelolaan FLW menjadi salah satu program yang tidak bisa serta-merta pemerintah lakukan sendiri, namun butuh dukungan dari masyarakatnya.
Kamu bisa mulai beli dan konsumsi makanan sesuai kebutuhan. Hindari penyetokan bahan makanan yang berlebih di rumah. Selain karena kebiasaan kurang baik, bahan makanan yang ditimbun terlalu lama akan mengalami penurunan kualitas apalagi kalau area penyimpanannya kurang memadai untuk menjaga kualitasnya.
Baca Juga: Kenapa Kita Butuh Techno-Wisdom?
Kita sudah tahu kalau masalah pangan bisa menjadi boomerang untuk kelangsungan hidup kita di masa depan. Teknologi yang semakin maju bisa kita manfaatkan untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan dengan metode penyimpanan dan pengawetan yang baik.
Penyimpanan dan pengawetan yang baik akan meminimalisir sampah makanan yang terbuang. Teknologi lemari pendingin sudah umum digunakan saat ini meskipun belum menyeluruh terutama di pedesaan.
Metode yang bisa dilakukan di wilayah pedesaan untuk mengawetkan makanan biasanya dengan pengeringan makanan dan penyimpanan di tempat tahan lembap.
Pihak produsen dan penyedia (toko/swalayan) juga dapat menerapkan kebijakan efektivitas seperti menurunkan harga barang terhadap barang dengan kualitas rendah dan tenggat kadaluarsa yang dekat. Hal ini akan membuat barang cepat laku dan tidak terbuang sia-sia dan makanan dengan kualitas baik juga tidak akan terbuang.
Tak lupa, kebijaksanaan tiap individu juga harus didahulukan. Bijak dalam membeli, menyetok, mengolah, sampai dengan membuang sisa dan sampah makanan adalah tanggung jawab masing-masing individu.
Yuk, bijak dalam konsumsi!
Bagi kamu yang ingin baca artikel menarik lainnya, segera kunjungi Nusantics Blog, ya.
Referensi:
Fresh Articles
The most established precision molecular diagnostics company in Indonesia
Find Us
Mon - Fri: 9 a.m. - 6 p.m.
i3L Campus @ Lvl. 3
Jl. Pulomas Barat No.Kav.88, RT.4/RW.9, Kayu Putih, Pulo Gadung,
Jakarta Timur 13210
Contact Us
hello@nusantics.com
+62 (21) 509 194 30
Copyright © 2025 PT Riset Nusantara Genetika, PT Nusantara Butuh Diagnostik. All Rights Reserved.Privacy Policy
© 2025 PT Riset Nusantara Genetika.
Privacy Policy