Logo

Beranda

Blog

Microbiome Bisa Berubah Karena Asupan dan Gaya Hidup? Cek di sini Faktanya!

Blog

Microbiome Bisa Berubah Karena Asupan dan Gaya Hidup? Cek di sini Faktanya!

January 28, 2021 by Dr. Tauhid Nur Azhar, Msi.Med

Share

blog-image

Para peneliti biologi molekuler mulai meneliti diversitas/keragaman mikrobioma atau bakteri yang hidup bersama manusia. Inisiatif ini dinamakan HMP alias Human Microbiome Project

Tujuannya memetakan dan membuat
library atau database dari keberadaan mikroba yang tumbuh dan berinteraksi dengan berbagai arah dengan manusia sebagai host-nya. 

Untuk melihat betapa pentingnya fungsi mikrobioma bagi manusia serta dampak jika berkurang, hilang, atau ekosistemnya terganggu, dapatlah kita simak sedikit tulisan Abang Abdul Azis dari University Adeleide yang telah di-
publish di Frontiers Microbiology berikut:

This loss of bacterial diversity in modern humans is postulated to be a result of lifestyle changes (Cho and Blaser, 2012). Dietary changes brought about by agriculture altered the human microbiota considerably over 7,500 years ago, and changed again with the recent movement toward animal-based and fat-rich western diets (Adler et al., 2013). 

This system can breakdown due to changes in microbiome composition or pathogenic microorganism colonization that hijacks and alters these pathways, contributing to the etiology of metabolic and infectious diseases, such as type 2 diabetes, IBD, obesity (Carding et al., 2015), and Clostridium difficile infection (CDI; Bien et al., 2013). 

In addition to the influence of the gut microbiome on the immune system, short-chain fatty acids produced by the gut microbiota have also been shown to impact the brain and nervous system (Rhee et al., 2009; Thomas et al., 2012).

 

Perubahan Komposisi Microbiome di Saluran Cerna, Kok Bisa?

perubahan komposisi microbiome di saluran cerna


Penelitian terpisah oleh Zi-Ni T di Journal of Food Science (2015) menunjukkan, pati sagu (Metroxylon sagu) memiliki kandungan pati resisten jenis III (RS3) tinggi. Pati resisten tipe ini berguna sebagai prebiotik yang mendukung bakteri baik di pencernaan seperti lactobacilli dan Bifidobacteria

Nah, saudara-saudara kita di Papua, termasuk suku Asmat semula adalah pengonsumsi sagu dan ikan, serta hewan buruan. 

Sama dengan bangsa Jepang yang mengalami perubahan komposisi mikrobioma di saluran cernanya karena adanya transfer genetika dari bakteri di rumput laut (yang jadi Nori dan bahan Kombu) ke bakteri endemik/penghuni lokal usus. 

Maka, mikroba usus orang Jepang saat ini mampu menghasilkan enzim Porfiran yang dapat mengolah serta mengoptimasi penyerapan unsur nutrisi dan
microfiber dari kandungan rumput laut. 
 

Peran Asupan dan Gaya Hidup terhadap Populasi Microbiome

peran asupan dan gaya hidup


Apa yang terjadi di Papua saat ini, dan juga mungkin di banyak wilayah di Indonesia dan dunia adalah perubahan ekosistem mikrobioma yang dapat berdampak pada kualitas hidup manusia dikarenakan adanya perubahan gaya hidup, termasuk masalah jenis asupan yang dikonsumsi. 

Saat ini Sagu (papeda), ulat sagu, dan ikan makin jarang dikonsumsi oleh saudara-saudara kita di Papua dan daerah timur lainnya. Sebagai gantinya adalah konsumsi makanan instan sangat meningkat, termasuk mie instan. 

Dari hasil penelitian Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, didapati bahwa sebagian warga suku Asmat mengalami hiperkolesterolemia sementara Indeks Massa Tubuhnya/IMT sebagian lainnya rendah, di bawah 18,5. Artinya, ada asupan yang tidak proporsional dan adekuat. 

Asupan tinggi lemak dan karbo, serta minim protein dan terdapat unsur mikronutrien tentu masalah besar yang akan berdampak dalam jangka panjang. 

Penelitian Abang Abdul Azis dari Adeleide Uni menunjukkan bahwa asupan dan gaya hidup akan mengubah diversitas dari populasi mikroba usus. Dan perubahan tahap lanjut akan berimbas pada produksi asam lemak dan metabolit aktif yang berkorelasi dengan kinerja endokrin, jaringan syaraf/otak, dan juga imunitas. 

Maka tak heran, jika berbagai penyakit degeneratif dan metabolik seperti diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung koroner, stroke, dan juga rheumatoid arthritis kerap dihubungkan dengan kondisi mikrobioma usus. Bahkan Alzheimer pun kini mulai terkuak hubungan sebab akibatnya dengan keberadaan mikroba usus. 

 

Yuk, Kembali ke Kearifan dan Keberagaman Lokal

kembali ke keberagaman lokal


Khusus saudara-saudara kita di Papua, suku Asmat, dari penelitian Eijkman yang antara lain dilakukan oleh tim Safarina G Malik, diketahui memiliki gen campuran dengan DNA prehistoric dari spesies Denisovan. 

Keberadaan gen Denisovan hasil peleburan dari perkawinan silang itu sekitar 3-5%, dan keberadaan gen tersebut terkait erat dengan pola herediter yang mengelola pola konsumsi yang berhubungan dengan metabolisme dan imunitas. 

Ini yang semestinya menjadi masukan bagi kajian dalam proses pemberdayaan dan pembangunan manusia, jangan menggunakan pendekatan generik seiring dengan perkembangan teknologi dan industrialisasi yang condong menghasilkan produk dan selera homogen, termasuk di sektor konsumsi pangan. 

Sebenarnya ini bukan masalah Papua atau Indonesia Timur saja, tetapi ini masalah kita bersama. Kita sebagai bangsa Nusantara dengan kekayaan keragaman sumber daya alam bisa saja kehilangan kesundaan, keminangan, keacehan, kebatakan, kekomeringan, kejawaan, keosingan, kebalian, kesumbaan, keambonan, kemanadoan, kebugisan, atau kedayakan kita karena revolusi industri yang menghomogenisasi semua produk yang terkait dengan kebutuhan manusia. 


Mari kembali ke kearifan dan keberagaman lokal.

Tuhan telah menciptakan Indonesia begitu kaya dan indahnya, saatnya kita mensyukuri lewat doa dan usaha untuk mengubah sumber daya menjadi daya pemulia bangsa.


Logo

© 2025 PT Riset Nusantara Genetika.

Kebijakan Privasi