• Home
  • Blog

share

Mengenal Lebih Jauh tentang Mutasi dan Varian Virus COVID-19

29 Sep 2021

Mengenal Lebih Jauh tentang Mutasi dan Varian Virus COVID-19

Bulan Juni-Juli 2021 menjadi momen paling menegangkan sepanjang masa pandemi. Mutasi virus COVID-19 varian Delta disebut-sebut menjadi mutasi ganas yang merebut banyak nyawa. Dilansir dari situs web Tempo, sebanyak 30.168 kematian terjadi pada Juli 2021, tertinggi selama pandemi. 

Namun, sebenarnya, bagaimana virus bermutasi?

Virus SARS-CoV-2 berbentuk seperti rambutan. 
Spike atau duri-duri di permukaannya digunakan untuk menempel ke sel manusia. Nah, perubahan (mutasi) di spike protein bisa mengakibatkan perubahan pada penularan virus atau keparahan penyakit.

Mutasi virus merujuk pada perubahan aktual dalam sekuens genetik virus. Menurut situs 
covid.go.id, mutasi adalah upaya virus untuk bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan kondisi inang yang dihinggapinya. 

Tingkat infeksi yang tinggi meningkatkan peluang terjadinya lebih banyak mutasi virus, sehingga hal ini lazim ditemui di masa pandemi. Konsekuensinya, muncul varian-varian baru.

Varian adalah virus yang sudah berubah dari virus aslinya. Varian memiliki satu atau lebih mutasi yang membedakannya dengan varian lain.


Baca Juga: 3 Hal Penting Tentang Covid-19 Varian Delta
 

Konsekuensi Munculnya Varian Virus

konsekuensi munculnya virus


Ketika sebuah varian baru tampak berkembang populasinya, ia disebut sebagai emerging variant. Beberapa potensi konsekuensi emerging variant adalah sebagai berikut:

  • Meningkatnya penularan
  • Meningkatnya morbiditas (kasus penyakit)
  • Meningkatnya mortalitas (angka kematian)
  • Mampu menghindari deteksi uji diagnostik
  • Berkurangnya kerentanan terhadap obat antivirus
  • Berkurangnya kerentanan tentang antibodi penetral, baik terapeutik (misalnya plasma konvalesen atau antibodi monoklonal) atau di eksperimen laboratorium
  • Mampu menghindari imunitas alami (misalnya menyebabkan infeksi ulang)
  • Mampu menginfeksi individu yang sudah divaksin
  • Meningkatnya risiko kondisi tertentu, seperti sindrom inflamasi multisistem atau long COVID (gejala COVID yang berlangsung lama setelah dinyatakan sembuh)
  • Meningkatnya persamaan (affinity) untuk kelompok demografis atau klinis tertentu, seperti anak-anak atau individu yang mengalami masalah imun


Klasifikasi Varian


klasifikasi varian

WHO dan CDC menggolongkan varian berdasarkan tingkat keparahannya. Varian yang memiliki satu atau lebih kriteria di atas disebut variant of interest (VOI). Ada bukti bahwa varian tersebut adalah penyebab meningkatnya kasus atau cluster penyebaran yang unik, tapi memiliki prevalensi atau ekspansi yang terbatas di level nasional.

Jika penularan meningkat, penyakit lebih parah (semakin banyak yang dirawat di rumah sakit atau angka kematian meningkat), antibodi dari infeksi sebelumnya atau vaksinasi kurang menetralisasi, berkurangnya efektivitas pengobatan atau vaksin, serta kegagalan deteksi diagnostik, maka status varian naik jadi variant of concern (VOC). Kalau tanda-tandanya semakin memburuk lagi, maka labelnya menjadi tingkat tertinggi yakni variant of high consequence (VOHC).

VOI dan VOC bisa turun statusnya menjadi variant being monitored (VBM) jika ada penurunan signifikan dan berkelanjutan pada angka kasus nasional dan regional seiring waktu. Jadi, varian ini tidak memberikan risiko signifikan dan mendesak terhadap kesehatan masyarakat. Bagaimanapun, VBM tetap terus diawasi untuk melihat apakah ada perubahan.

Oh, iya, status varian ini bisa berubah sesuai hasil analisis terkini terhadap varian tersebut, ya.

Baca Juga: Seberapa Mudah Virus COVID-19 Menyebar di Udara?
 

Penamaan Varian Virus

penamaan varian virus


Pelabelan varian SARS-CoV-2 menggunakan alfabet Yunani adalah upaya WHO untuk mempermudah penyebutan dan untuk menghindari stigma terhadap negara asal varian tersebut. Misalnya, varian Alpha dari Inggris, Beta dari Afrika Selatan, Gamma dari Brazil, dan Delta dari India.

Varian Alpha dan Delta lebih mudah tersebar dibanding virus awal yang teridentifikasi di Wuhan, Tiongkok. Selain itu, varian Delta menyebabkan lebih banyak infeksi, menyebar lebih cepat, dan bisa menyebabkan penyakit yang lebih parah pada orang yang belum divaksin dibanding jenis virus sebelumnya.


Hasil Tes mBioCoV-19

hasil tes mbiocov-19


Nusantics bekerja sama dengan Biofarma dan BPPT menghadirkan test kit mBioCoV-19 untuk mendeteksi virus SARS-CoV-19. Ternyata, mBioCoV-19 mampu mengecek keberadaan bermacam-macam varian virus SARS-CoV-19 secara akurat. Berikut hasil penelitiannya:
  • B.117 (Alpha): dapat mendeteksi seluruh virus varian
  • B.1.351 (Beta): dapat mendeteksi seluruh virus varian
  • P1 (Gamma): dapat mendeteksi setidaknya 99.5% varian
  • B.1.617.1 (Kappa): dapat mendeteksi setidaknya 99.8% virus varian
  • B.1.617.2 (Delta): dapat mendeteksi setidaknya 99.9% virus varian
  • B.1.427 / B.1.429 (Epsilon): dapat mendeteksi setidaknya 99.6% varian
  • B.1.525 (Eta): dapat mendeteksi setidaknya 99.3% varian
  • B.1.526 (Iota): dapat mendeteksi setidaknya 99% varian
  • B.1.466.2 (Indonesia Variant): dapat mendeteksi setidaknya 99.7% varian
  • B.1.621 (Mu): dapat mendeteksi setidaknya 99.8% varian
  • C.37 (Lambda): dapat mendeteksi setidaknya 99.5% varian
  • P.2: dapat mendeteksi setidaknya 99.2% varian
  • C.1.2: dapat mendeteksi setidaknya 100% varian

Selain berdoa pada Yang Kuasa, kita bisa mencegah mutasi virus dan munculnya varian baru dengan menghambat persebaran virus penyebab COVID-19. Cara yang paling ampuh adalah disiplin menerapkan protokol kesehatan dan mengikuti program vaksinasi COVID-19. Bersama kita bisa akhiri pandemi!

Buat kamu yang masih mau baca artikel menarik lainnya seputar COVID-19 atau kesehatan pencernaan, microbiome, dan lain-lain, mampir ke Nusantics Blog, ya!

Referensi:

Writer: Fitria Rahmadianti

Editor: Serenata Kedang