• Home
  • Event

share

Membangun R&D Berbasis Sains Mikrobioma dan Keanekaragaman Hayati

28 Jun 2021

Membangun R&D Berbasis Sains Mikrobioma dan Keanekaragaman Hayati

Masih banyak orang menganggap bahwa bakteri, virus, dan jamur selalu jahat dan bisa menyebabkan penyakit. Faktanya, mikroorganisme hidup di dalam diri kita dan di sekitar kita, atau biasa disebut microbiome. Tanpanya, manusia dan alam bisa binasa.

Dalam rangka menyambut Hari Mikrobioma Sedunia pada 27 Juni 2021, Nusantics menggelar 
webinar bertajuk "Membangun R&D Berbasis Sains Mikrobioma dan Keanekaragaman Hayati". Acara ini digelar pada Jumat, 25 Juni 2021, pukul 14.00 sampai 16.00 WIB dan dimoderatori oleh Fara Rangkuti, Head of Bioinformatics and Data Science Nusantics.



Di kesempatan tersebut, para akademisi berbicara tentang pentingnya microbiome dari sudut pandang manusia, pertanian dan kehutanan, sampai dari sisi pemerintah. Berikut beberapa poin penting yang disampaikan di forum akademik tersebut.

Baca juga: Yuk, Ramaikan World Microbiome Day!
 

Microbiome Manusia

microbiome manusia


Microbiome manusia terdiri dari kumpulan triliunan mikroba yang mendiami tubuh kita. Namun, tubuh kita hanya menjalankan fungsi fisiologisnya sebanyak 10%. Sisanya, hidup kita dibantu oleh mikroorganisme.

“Sebenarnya (dari sekian banyak mikroorganisme di tubuh kita), yang menjadi penyebab penyakit hanya 1-2 lusin bakteri patogen saja. Mereka bisa membuat kita sakit karena terjadi gangguan pada keragaman 
microbiome,” jelas Prof. dr. Pratiwi Sudharmono, Ph.D, SpMK(K), profesor mikrobologi klinik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang menjadi salah satu pembicara di forum ini.

Keseimbangan 
microbiome sangat penting karena bisa memengaruhi fisik dan mental manusia. Sebab, hidup adalah hasil dari keseimbangan antara organisme, host (sel di tubuh kita beserta latar belakang genetiknya, perilakunya, dan sebagainya), serta faktor lingkungan.

Lebih jauh lagi, Prof. Pratiwi memaparkan bahwa pemahaman yang lebih lengkap mengenai keragaman mikroba yang menyusun 
microbiome manusia bisa menghasilkan terapi baru. Contohnya adalah diare akibat infeksi Clostridium difficile yang sulit disembuhkan. “Sekarang tidak hanya pakai obat kimia, tapi juga menggunakan transplantasi microbiome untuk kondisi yang kronis,” kata sang profesor.

Baca Juga: Diet Microbiome, Metode Diet Terbaru yang Bisa Kamu Coba
 

Microbiome Pertanian

microbiome pertanian


Bukan hanya microbiome manusia yang penting bagi kelangsungan hidup kita, tapi juga microbiome tanaman. Menurut Dr. Intan Taufik dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Insitut Teknologi Bandung, Indonesia sebenarnya memiliki potensi keanekaragaman hasil pertanian. Namun, aktivitas antropogenic-driven (yang digerakkan oleh manusia) masih menjadi tantangan.

“Kita banyak melakukan penanaman monokultur serta menghasilkan gas CO2 dari berbagai aktivitas. Ini mendorong perubahan lingkungan dan menyebabkan ketidakseimbangan 
microbiome,” papar Dr. Taufik.

Contohnya adalah pemanasan global yang membuat tanaman kopi hanya bisa ditanam di tempat yang semakin tinggi untuk menyesuaikan suhu. “Misalnya, 
arabica tadinya bisa ditanam di ketinggian 1.000 mdpl. Sekarang makin naik. Nanti tidak ada tempat lagi (untuk menanam kopi),” kata pencinta kopi tersebut.
 

Microbiome Alam Liar

microbiome alam liar


Pernah mendengar tentang zoonosis? Menurut Iding Achmad Haidir, D.Phil. dari Oxford University Indonesia Society, zoonosis adalah perpindahan penyakit dari dua sisi, yakni manusia ke hewan dan sebaliknya. “Hati-hati untuk Anda yang gemar memelihara satwa eksotik karena merupakan carrier penyakit,” Iding memperingatkan sambil menyebutkan data bahwa 70% zoonosis berasal dari satwa liar.

Zoonosis bisa terjadi karena ketidakseimbangan di alam. Berdasarkan data dari Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ada lebih dari 20 ekor tikus per hektar mangrove. Sedangkan, tikus adalah carrier lebih dari 200 jenis penyakit yang berbahaya bagi manusia. Bayangkan bagaimana jika hutan bakau terganggu.

Ia juga mencontohkan film 
Contagion yang dibuat berdasarkan penelitian mendalam. Film ini berkisah tentang berubahnya habitat alami kelelawar yang pada akhirnya membawa penyakit menular dan mematikan bagi manusia.

“Bukan ramalan ahli nujum, tapi ini adalah prediksi para ahli. Pertanyaannya sekarang adalah bukan ‘is it going to happen?’, tapi ‘when is it going to happen?’,” tegas Iding.


Baca Juga: Apa Sih Perbedaan dan Persamaan Bakteri dengan Virus?
 

Dukungan Pemerintah

dukungan pemerintah


Dalam kesempatan ini, CTO Nusantics Revata Utama mengumumkan bahwa Nusantics telah berkembang menjadi pemain utama di bidang bioteknologi kesehatan di Indonesia dalam satu tahun pendiriannya. Sebagai perusahaan diagnostik microbiome pertama dan terkemuka di Indonesia, kesuksesan Nusantics tentu tak lepas dari dukungan pemerintah.

Dikepalai oleh Dr. Laksana Tri Handoko, Badan Riset dan Inovasi Nasional memang bertujuan menciptakan lembaga riset swasta sebanyak mungkin untuk mendorong ekonomi. “Negara berperan sebagai fasilitator dan 
enablerOpen platform yang kami buat diharapkan dapat menjadi hub kolaborasi banyak pihak, termasuk industri dan startup seperti Nusantics serta dosen dan mahasiswa,” jelas Dr. Laksana.

Di akhir acara, Sharlini Eriza Putri sebagai CEO Nusantics menyampaikan keinginannya untuk menarasikan indonesia dari segi 
microbiome. “Indonesia adalah negara dengan biodiversitas tertinggi di dunia. Seharusnya kita bisa memimpin inovasi berbasis microbiome,” ungkapnya.

Hal senada disampaikan oleh Iding melalui kata-kata Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK: “Indonesia akan maju karena kekayaan hayatinya, asalkan kita tahu apa yang kita punya dan mengerti bagaimana mengembangkannya.”

Wah, berbicara tentang 
microbiome memang tak ada habisnya! Nah, untuk kamu yang tertarik menyimak paparan para pakar secara lebih lengkap, kamu bisa menonton ulang siarannya di sini. Selamat Hari Mikrobioma Sedunia, ya!