• Home
  • Blog

share

Ketidakseimbangan Microbiome Usus Memperparah COVID-19?

4 Feb 2021

Ketidakseimbangan Microbiome Usus Memperparah COVID-19?

COVID-19 dikenal sebagai penyakit saluran pernapasan. Namun, bukti-bukti menunjukkan bahwa saluran pencernaan juga terlibat dalam penyakit ini.

COVID-19 memicu sistem imunitas untuk menghasilkan sitokin (protein pemberi sinyal) inflamasi. Di beberapa kasus, responsnya bisa berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan, syok septik (kondisi yang mengancam jiwa yang terjadi ketika tekanan darah anjlok setelah infeksi), dan gagal organ secara meluas.

Hubungan antara komposisi
microbiome usus, kadar sitokin, dan penanda inflamasi pada pasien COVID-19 memberi kesan bahwa microbiome usus terlibat dalam tingkat keparahan COVID-19, kemungkinan melalui pengaturan respons imun tubuh. Jadi, keparahan penyakit COVID-19 mungkin bukan hanya karena infeksi virus, tapi juga karena respons imun tubuh.
 

Penelitian


Penelitian yang dipublikasikan oleh tim Profesor Siew C Ng dari The Chinese University of Hong Kong pada 11 Januari 2021 menunjukkan bahwa komposisi microbiome usus pasien COVID-19 selama dirawat di rumah sakit berkorelasi dengan konsentrasi plasma beberapa sitokin, kemokin (sitokin kecil), dan penanda inflamasi. 

Hal ini mengesankan bahwa
microbiome usus memiliki peran dalam mengatur respons imun tubuh serta berpotensi memengaruhi keparahan dan hasil akhir penyakit.

Dalam dua studi yang dilakukan di dua rumah sakit, peneliti mengambil sampel darah, kotoran, dan catatan medis dari 100 pasien yang terkonfirmasi oleh laboratorium telah terinfeksi virus SARS-CoV-2. Serangkaian sampel kotoran juga dikumpulkan dari 27 pasien di antara 100 pasien tadi hingga 30 hari setelah virus SARS-CoV-2 hilang dari tubuhnya. Peneliti membandingkannya dengan data dari 78 orang yang tak terinfeksi.

Ternyata, komposisi
microbiome usus berubah secara signifikan pada pasien dengan COVID-19 dibanding orang yang tidak mengalami COVID-19, terlepas dari pasien sudah meminum obat-obatan atau belum.

Contohnya, penderita COVID-19 memiliki lebih sedikit jenis bakteri yang dapat memengaruhi respons sistem imunitas dibanding bukan penderita. Berkurangnya jumlah bakteri ini berkaitan dengan keparahan infeksi.

 

Jenis Bakteri yang Berkurang


Beberapa bakteri usus komensal yang dikenal memiliki potensi mengubah respons imun (immunomodulatory) tampak sedikit jumlahnya pada pasien COVID-19. Kadarnya pun tetap rendah pada sampel kotoran yang dikumpulkan hingga 30 hari setelah penyakit sembuh.

Beberapa spesies bakteri yang berkurang mungkin berperan dalam mencegah inflamasi yang terlalu agresif.
Bifidobacterium adolescentis, Faecalibacterium prausnitzii, Eubacterium rectale, Blautia obeum, dan Dorea formicigenerans, contohnya, berhubungan dengan berkurangnya respons inflamasi tubuh pada penyakit terkait inflamasi lainnya.

Sementara itu, bertambahnya
Ruminococcus gnavus, Ruminococcus torques, Bacteroides dore, dan Bacteroides vulgatus pada COVID-19 juga konsisten dengan kesimpulan terkait terganggunya sistem imun akibat pengaruh mikroba. R. gnavus dan R. torques di usus dilaporkan terjadi bersamaan dengan penyakit radang usus, sedangkan B. dorei dan B. vulgatus terlibat dalam beberapa penyakit inflamasi usus seperti penyakit iritasi usus dan kolitis ulseratif.

Namun, belum diketahui apakah mikroorganisme usus terkait inflamasi yang bertambah jumlahnya di COVID-19 benar-benar berperan aktif dalam penyakit ini atau sekadar bertambah subur karena berkurangnya mikroorganisme usus lain.

Jumlah bakteri tadi tetap rendah sampai 30 hari setelah pasien yang terinfeksi sudah terbebas dari virus. Ketidakseimbangan
microbiome bisa menyebabkan gejala inflamasi yang berkelanjutan, seperti kelelahan, sesak napas, dan nyeri sendi. Bahkan, sebagian orang mengalami gejala lebih dari 80 hari setelah awal gejala muncul.

Peneliti beranggapan bahwa
microbiome usus yang tidak seimbang bisa berkontribusi terhadap masalah kesehatan terkait imunitas setelah COVID-19.
 

Keterbatasan Hasil Studi


Bagaimanapun, studi ini memiliki beberapa keterbatasan, yakni:

  1. Diperlukan tindak lanjut yang lebih lama untuk pasien COVID-19 (misalnya 3 bulan sampai 1 tahun setelah bersih dari virus) untuk menjawab pertanyaan seperti:
    • durasi disbiosis microbiome usus setelah sembuh
    • kaitan antara disbiosis microbiome dan gejala yang berlangsung dalam waktu lama
    • apakah disbiosis atau penambahan/pengurangan mikroorganisme usus tertentu membuat pasien yang sudah sembuh rentan terkena masalah kesehatan di kemudian hari
  2. Belum jelas sampai sejauh apa komposisi microbiome usus akibat COVID-19 dapat dipengaruhi oleh manajemen klinis. 
  3. Komposisi microbiome usus yang diobservasi bisa saja hanya respons dari kondisi kesehatan dan imunitas pasien, bukan terlibat langsung dalam keparahan penyakit. Jadi, studi microbiome usus mungkin tidak bisa langsung diaplikasikan untuk memprediksi kerentanan penyakit pada subjek nonCOVID-19.
  4. Komposisi microbiome usus di antara populasi manusia sangat heterogen. Perubahan komposisi yang dilaporkan di studi ini mungkin tidak selalu tercermin pada pasien COVID-19 dari lingkungan geografis lain.
  5. Profesor Ng mengakui bahwa studi ini tidak dapat membuktikan bahwa ketidakseimbangan microbiome menyebabkan COVID-19 lebih parah. Hanya tampak hubungan antara virus dan bakteri di usus.

Terkait poin nomor 3, Dr. Arun Swaminath sebagai kepala divisi gastroenterologi di Lenox Hill Hospital, Amerika Serikat, mengatakan bahwa microbiome bereaksi terhadap berbagai kondisi yang terkait atau tidak terkait COVID-19.

“Cukup jelas bahwa biodiversitas tinja dapat berubah untuk merespons banyak hal, termasuk usia, diet, penyakit autoimun, dan terpaan antibiotik,” ujar Dr. Swaminath. Pertanyaannya adalah apakah perubahan ini khas COVID-19 atau umum terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena penyakit yang tidak berhubungan dengan COVID-19?

“Bagaimanapun, studi Profesor Ng membantu kita mengidentifikasi orang-orang yang belum pulih dari infeksi COVID-19 menggunakan uji biodiversitas tinja,” jelas Dr. Swaminath.


Peluang


Survei perubahan microbiome usus dalam kaitannya dengan disregulasi imunitas ini menunjukkan bahwa mikroorganisme usus kemungkinan terlibat dalam modulasi respons inflamasi tubuh di COVID-19.

Dengan bertambahnya bukti bahwa mikroorganisme usus berhubungan dengan penyakit inflamasi di dalam dan luar usus, temuan ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan pemahaman akan peran spesifik mikroorganisme usus dalam fungsi imunitas manusia dan inflamasi sistemik.

Peran potensial yang dimainkan mikroorganisme usus pada COVID-19 memungkinkan penggunaan profil risiko berbasis microbiome untuk mengidentifikasi individu yang berisiko mengalami penyakit parah atau gejala inflamasi seperti inflamasi multisistem dan penyakit mirip Kawasaki pada anak-anak.

“Mengembalikan bakteri baik yang hilang bisa mendorong imunitas kita melawan virus SARS-CoV2 dan mempercepat pemulihan dari penyakit tersebut. Jadi, dalam menghadapi COVID-19, kita seharusnya tidak hanya fokus pada penghilangan virus, tapi juga mengembalikan microbiome usus,” kata Profesor Ng.

Karena penelitian tentang kaitan antara keseimbangan microbiome dan COVID-19 masih terus berkembang, ada baiknya kamu selalu menjaga keberagaman microbiome agar tubuh tetap sehat dan sistem imun selalu kuat. Kunjungi Nusantics Blog untuk baca artikel-artikel menarik lainnya, ya!

Referensi:

Writer: Fitria Rahmadianti

Editor: Serenata Kedang