Pernah dengar tentang Sustainable Development Goals (SDG)? Dalam bahasa Indonesia, SDG dikenal juga sebagai Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Bertempat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada 25 September 2015, para pemimpin dunia mengesahkan Sustainable Development Goals. Peristiwa ini dihadiri kurang lebih 193 kepala negara, termasuk Wakil Presiden Indonesia saat itu, yakni Bapak Jusuf Kalla.
Sebenarnya, SDG merupakan kelanjutan atau pengganti dari Tujuan Pembangunan Milenium yang diresmikan pada tahun 2000, tetapi tidak berlaku lagi sejak akhir 2015.
SDG melibatkan seluruh aktor pembangunan seperti Pemerintah, sektor swasta, akademisi, Civil Society Organization (CSO), dan lain-lain.
SDG berisi 17 tujuan dengan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030.
Apa Itu Sustainable Development Goals (SDG)?
SDG adalah 17 obyektif yang ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memandu kerjasama internasional dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan, mengakhiri kemiskinan, dan mengatasi perubahan iklim selama 15 tahun sejak tahun 2015 hingga 2030. Aksi ini disebut juga sebagai Agenda 2030.
Dilansir dari situs resminya, un.org, Agenda 2030 ini dibuat berdasarkan prinsip “leaving no one behind” atau “tidak meninggalkan siapapun”, dengan menekankan pendekatan holistik untuk mencapai pembangunan berkelanjutan bagi semua kalangan.
SDG mulai dilaksanakan sejak tahun 2016. SDG juga secara eksplisit mengikutsertakan disabilitas dan penyandang disabilitas, terutama pada bagian yang berhubungan dengan pendidikan, perkembangan dan pekerjaan, ketidaksetaraan, akses permukiman, serta pengumpulan data dan pemantauan SDG.
17 Poin Sustainable Development Goals
Source: Wikipedia.org
Berikut ini 17 pembangunan berkelanjutan atau SDG untuk mengubah dunia kita, yang dilansir dari situs web resmi SDG Indonesia:
- Goal 1: Menghapus Kemiskinan (No Poverty)
- Goal 2: Mengakhiri Kelaparan (Zero Hunger)
- Goal 3: Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan (Good Health and Well-being)
- Goal 4: Pendidikan Bermutu (Quality Education)
- Goal 5: Kesetaraan Gender (Gender Equality)
- Goal 6: Akses Air Bersih dan Sanitasi (Clean Water and Sanitation)
- Goal 7: Energi Bersih dan Terjangkau (Affordable and Clean Energy)
- Goal 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi (Decent Work and Economic Growth)
- Goal 9: Infrastruktur, Industri dan Inovasi (Industry, Innovation and Infrastructure)
- Goal 10: Mengurangi Ketimpangan (Reduced Inequality)
- Goal 11: Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan (Sustainable Cities and Communities)
- Goal 12: Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab (Responsible Consumption and Production)
- Goal 13: Penanganan Perubahan Iklim (Climate Action)
- Goal 14: Menjaga Ekosistem Laut (Life Below Water)
- Goal 15: Menjaga Ekosistem Darat (Life on Land)
- Goal 16: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Kuat (Peace and Justice Strong Institutions)
- Goal 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan (Partnership to Achieve the Goals)
Nah, berbicara tentang Goal 13 yaitu Climate Action atau aksi iklim, ada pula yang namanya climate finance, nih, yakni pembiayaan untuk menanggulangi dampak negatif perubahan iklim.
Climate finance dan green finance (konsep finansial hijau untuk mendorong investasi ramah lingkungan dan pembangunan berkelanjutan) berperan penting dalam membiayai infrastruktur rendah karbon dan tahan iklim. Selain itu, pasar keuangan juga diharapkan mendukung inovasi komersil untuk mencapai SDG.
Salah satu jenis climate finance adalah green bond yang dikenal memiliki risiko ringan serta menarik bagi investor institusi dan yang bertanggung jawab sosial.
Apa Itu Green Bond?
Green bond atau obligasi hijau adalah jenis instrumen pendapatan tetap yang khusus dialokasikan untuk mengumpulkan dana untuk proyek iklim dan lingkungan. Contohnya adalah proyek efisiensi energi, pencegahan polusi, pertanian yang berkelanjutan, perikanan dan kehutanan, perlindungan ekosistem air dan darat, transportasi hijau, air bersih, serta pengelolaan air yang berkelanjutan.
Menurut Investopedia.com, green bond juga membiayai pengembangan teknologi ramah lingkungan dan mitigasi perubahan iklim.
Obligasi ini biasanya berhubungan dengan aset dan didukung oleh neraca lembaga yang mengeluarkannya. Jadi, biasanya peringkat kreditnya sama dengan obligasi hutang lain lembaga tersebut.
Green bond biasanya disertai insentif pajak seperti pembebasan pajak dan kredit pajak, sehingga lebih menarik dibanding obligasi sejenis yang terkena pajak. Keuntungan ini memberikan insentif moneter untuk mengatasi masalah sosial yang penting, seperti perubahan iklim dan gerakan sumber energi yang dapat diperbarui.
Untuk bisa mendapatkan status “green bond”, perlu verifikasi dari pihak ketiga seperti Climate Bond Standard Board yang menjamin bahwa obligasi tersebut akan mendanai proyek yang bermanfaat untuk lingkungan.
Sejarah Green Bond
Bank Dunia mengeluarkan obligasi hijau resmi pertama pada 2009. Di awal dekade abad ke-21, green bond juga disebut climate bond.
Pada 2012, jumlah green bond yang dikeluarkan “hanya” USD 2,6 miliar (Rp 36,5 triliun). Namun di 2016, green bond mulai meningkat pesat. Pada 2017, penerbitan green bond menembus rekor yakni USD 161 miliar (Rp 2.254 triliun) di seluruh dunia, menurut laporan agensi rating Moody’s.
Pertumbuhan green bond agak melambat di 2018 dengan jumlah yang diterbitkan USD 167 miliar (Rp 2.338 triliun), tapi kembali melambung di tahun berikutnya. Moody’s memperkirakan jumlah terbitan global pada 2019 mencapai USD 250 miliar (Rp 3.500 triliun), sementara lembaga nirlaba internasional yang fokus terhadap investor Climate Bonds Initiative menyebut angka USD 257,5 miliar (Rp 3.605 triliun).
Bank Dunia adalah penerbit green bond terbesar. Lembaga ini membiayai proyek-proyek di seluruh dunia dan sangat aktif di Amerika Serikat dan India.
Green Bond di Indonesia
Indonesia memiliki pipeline (tahapan untuk mencapai tujuan) infrastruktur hijau yang luas, terbuka untuk investasi melalui instrumen keuangan hijau. Hal ini tercermin dalam laporan Climate Bonds Green Infrastructure Investment Opportunities (GIIO) Indonesia tahun 2018 dan update-nya di akhir 2019. Sampai saat ini, Indonesia telah menerbitkan enam obligasi hijau dan sukuk hijau dengan nilai USD 3,7 miliar (Rp 51,8 triliun).
Untuk mendukung stimulus hijau dan agar Indonesia dapat mencapai target iklimnya antara 2020-2024, Indonesia membutuhkan pendanaan dengan total USD 18,5 miliar (Rp 260 triliun) per tahun untuk periode 2020-2024.
Sektor swasta dan pembiayaan internasional berperan krusial dalam mendukung Indonesia mencapai target iklimnya melalui instrumen keuangan seperti obligasi hijau, pinjaman hijau, dan sukuk hijau.
Pemerintah Indonesia menyatakan komitmennya dalam mendukung pemulihan hijau dan investasi rendah karbon, seperti ditegaskan oleh Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati di High Level Opening Dialogue of Green Climate Fund Private Investment for Climate Conference.
“Saya percaya bahwa implementasi pemulihan hijau akan menjadi penggerak transformasi ekonomi dunia. Indonesia telah dan akan terus berkomitmen mengurangi emisi karbon di samping menjadi bangsa yang tahan terhadap perubahan iklim.
“Pembuat kebijakan harus memeriksa lebih saksama rencana paket pemulihan ekonomi hijau dari perspektif perencanaan jangka panjang untuk membangun ekonomi yang berkelanjutan,” kata Sri Mulyani, seperti dikutip dari press release PT SMI.
Nusantics memiliki visi dan misi untuk menjaga biodiversity demi masa depan yang lebih sustainable, misalnya seperti memberi informasi dan pengetahuan terkait microbiome pada masyarakat, menyediakan layanan dan produk skincare microbiome ramah lingkungan, serta melakukan penelitian seputar microbiome yang dapat membantu menyelesaikan masalah sehari-hari mulai dari kesehatan sampai lingkungan. Kunjungi website resmi Nusantics untuk informasi lebih lanjut: https://www.nusantics.com/
Referensi: