• Home
  • Blog

share

Psikobiotik dan Hubungannya dengan Kesehatan Mental

2 Mar 2021

Psikobiotik dan Hubungannya dengan Kesehatan Mental

Kumpulan bakteri, virus, dan jamur yang menempati usus kita (microbiome usus) ternyata menjalin komunikasi dua arah dengan otak. Para ilmuwan pun sedang mengembangkan cara mengatasi masalah mental dengan pemanfaatan bakteri baik, atau disebut juga psikobiotik.

Penelitian menunjukkan bahwa 
microbiome sangat memengaruhi aktivitas otak dan pada gilirannya perilakumu. Microbiome berefek pada suasana hati, kognisi, dan sensitivitas manusia terhadap rasa sakit. Ini dikarenakan bakteri memproduksi triptofan, tirosin, dan dopamin serta GABA (gamma-Aminobutyric acid) dan glisina yang berfungsi sebagai neurotransmiter (senyawa pembawa sinyal) pada hewan dan manusia.

Ternyata
, microbiome usus yang diperoleh sejak bayi berdampak pada sistem saraf pusat serta perilaku dari masa kanak-anak hingga dewasa, lhoKok bisa?
 

Pengaruh Microbiome Usus Bayi pada Kesehatan Mental hingga Dewasa

pengaruh microbiome bayi hingga dewasa


Manusia terlahir dengan sistem saraf yang kurang berkembang dibanding mamalia lain. Ini bisa jadi merugikan (bayi manusia jadi bergantung penuh pada ibunya) sekaligus menguntungkan (manusia punya kapasitas besar untuk belajar setelah lahir, selama masa perkembangan saraf).

Pada masa perkembangan janin dan anak usia dini, organisme probiotik seperti 
bifidobacteria dan lactobacilli menjaga keseimbangan antara respons proinflamasi dan antiinflamasi di tahap kolonisasi awal mereka. Peran keduanya sangat penting dalam perkembangan neuroimun (interaksi sistem saraf dan sistem imun) dan neuroendokrin (interaksi sistem saraf dan kelenjar penghasil hormon) Si Kecil.

Maka, tak heran jika gangguan pada 
microbiome bayi bisa mengakibatkan konsekuensi berat. Contohnya, bayi yang menyusu ASI memiliki microbiome yang sama sekali berbeda dengan bayi yang minum susu formula. Konsekuensinya adalah perbedaan manfaat kesehatan yang dapat bertahan seumur hidup.

Contoh lainnya, menurut 
beberapa penelitian, penggunaan antibiotik dalam waktu lama tampak mengganggu microbiome bayi yang sehat, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan microbiome atau disbiosis.

Perubahan 
microbiome usus, terutama pada masa perkembangan anak, terlibat dalam perubahan perkembangan dan plastisitas (sifat mudah dibentuk) otak. Ini bisa menyebabkan perubahan fungsi motor dan perilaku sosial Si Kecil.

Perkembangan 
microbiome manusia terjadi paralel dengan perkembangan otak dan saling bekerjasama. Akibatnya, kekacauan pada microbiome usus di awal kehidupan berdampak pada perkembangan saraf dan mengakibatkan munculnya masalah kesehatan mental yang merugikan bertahun-tahun kemudian.

Karena itu, para ilmuwan mencoba mengatasi penyakit kejiwaan dengan mengubah 
microbiome usus menggunakan psikobiotik. Sebenarnya, apa itu psikobiotik?
 

Psikobiotik

psikobiotik dan kesehatan mental


Psikobiotik adalah organisme hidup yang ketika ditelan dalam jumlah cukup bisa menghasilkan manfaat kesehatan pada pasien yang mengalami penyakit kejiwaan. Dengan kata lain, psikobiotik adalah probiotik (bakteri baik) yang digunakan untuk mengatasi masalah mental.

Ditelannya bakteri tersebut dalam jumlah memadai bisa membantu produksi zat neuroaktif, yakni zat kimia yang disintesis sel saraf yang memengaruhi aksi sel saraf lain atau sel otot.

Konsumsi psikobiotik juga dapat mengatur protein yang penting dalam pengaturan fungsi dan perilaku terkait sistem saraf pusat, serta pada komunikasi antara usus dan otak. Beberapa studi pun menunjukkan bahwa pemberian psikobiotik efektif dalam mengatasi depresi, stres, dan kecemasan.

Psikobiotik juga dapat memperbaiki gejala autisme serta fungsi motor dan kognisi pada pasien dengan penyakit Parkinson dan Alzheimer. Lebih jauh lagi, psikobiotik bisa meningkatkan metabolisme energi dan fungsi gastrointestinal, mengurangi inflamasi, dan merangsang respons imun.

 

Psikobiotik untuk Mengatasi Masalah Mental Akibat COVID-19

psikobiotik untuk kesehatan mental


Wabah COVID-19 tidak hanya menyebabkan komplikasi pernapasan dan potensi ancaman kematian, tapi juga membahayakan kesehatan mental masyarakat dan tenaga kesehatan. Hal ini bisa menimbulkan masalah seperti stres, panik, depresi, kecemasan, gangguan tidur, kesejahteraan mental yang menurun, dan bahkan bunuh diri.

Mengisolasi diri karena terinfeksi, kematian teman dan keluarga, serta belum banyak beredarnya vaksinasi COVID-19 bisa menyebabkan munculnya perasaan seperti kesepian dan marah, serta stres jangka pendek pascatrauma.

Selain itu, meningkatnya jumlah kasus COVID-19 telah membebani sistem kesehatan, mengurangi ketersediaan fasilitas di rumah sakit dan alat pelindung diri, sehingga membuat tenaga kesehatan mengalami kecemasan dan stres emosional yang luar biasa.

Bagi masyarakat umum, peningkatan jumlah kematian, takut terinfeksi, kurangnya persediaan barang dan informasi yang tidak memadai, serta faktor seperti frustrasi, kebosanan, kerugian finansial, serta durasi karantina yang semakin lama bisa menyebabkan masalah kejiwaan.

Akibatnya, seperti tertulis di jurnal 
Trends in Food Science & Technology, penggunaan obat psikotropika untuk mengontrol potensi masalah terkait respons emosional dan perilaku selama pandemi jadi hampir tidak terelakkan.

Namun, pemakaian psikotropika sebagai pilihan untuk menjaga kesehatan mental sering diasosiasikan dengan efek samping endokrin dan metabolik. Di antaranya adalah perubahan komposisi 
microbiome usus dan fungsi gastrointestinal, diabetes, disfungsi seksual, penurunan atau kenaikan berat badan, sindrom metabolik, dan hipertensi.

Karena itu, penerapan terapi yang tidak terlalu agresif terhadap tubuh manusia penting dan perlu dipertimbangkan. Penggunaan psikobiotik pun mulai menarik perhatian di komunitas ilmiah beberapa tahun belakangan.

Keuntungan utama menggunakan psikobiotik dalam menjaga kesehatan mental selama krisis seperti COVID-19 adalah, karena mereka merupakan mikroorganisme dengan genus yang secara alami terdapat di saluran usus, psikobiotik memiliki risiko alergi yang lebih kecil dan tingkat ketergantungan lebih rendah dibanding obat psikotropika.

Wah, semoga psikobiotik bisa segera digunakan untuk mengatasi masalah mental yang marak terjadi di masa pandemi seperti ini, ya!

Terlepas dari seperti apa masalah kecilmu, apakah kamu minum ASI atau baru tahu tentang fakta penggunaan antibiotik, tak perlu khawatir, ya! Sebab, tidak pernah ada kata terlambat untuk menjaga keseimbangan 
microbiome tubuhmu, kok.

Mulai sekarang, terapkan gaya hidup sehat, konsumsi makanan yang variatif, banyak minum air putih, rutin berolahraga, dan kelola stres yang baik. Niscaya, microbiome tubuh terjaga kesehatannya, begitu juga dengan mentalmu. Semangat!

Buat kamu yang masih penasaran dengan informasi terkait 
microbiome, kesehatan usus, kesehatan mental, atau COVID-19, yuk kunjungi Nusantics Blog.

Referensi:

Writer: Fitria Rahmadianti

Editor: Serenata Kedang