• Home
  • Blog

share

Peran Teknologi Informasi dalam Akselerasi Pengembangan Vaksin di Masa Pandemi

18 Jan 2021

Peran Teknologi Informasi dalam Akselerasi Pengembangan Vaksin di Masa Pandemi

 

Artikel ditulis oleh: Dr. Tauhid Nur Azhar, Msi.Med
Medical Doctor, Phd. in Immunology and Microbiology


Proses pengembangan vaksin dan obat di masa terdahulu memerlukan waktu bertahun-tahun sebelum dapat memasuki fase uji klinis tahap 3 yang kemudian masih harus diikuti dengan 
vaccine post marketing safety surveilance

Demikian pula pengembangan regimen terapi seperti berbagai jenis obat (misal antibiotika atau sitostatika), memerlukan proses yang berkesinambungan dari tahapan pre klinis sampai ke uji klinis. 

Toksisitas, dosis lethal, efikasi, dan efek samping menjadi fokus amatan yang memerlukan waktu penelitian serta pengujian yang cukup panjang. 

Tetapi pandemi kali ini selain menjadi musibah global, juga menjadi semacam enzim pengkatalisis yang mempercepat reaksi integrasi antar disiplin ilmu sehingga dapat melahirkan inovasi yang diharapkan bisa menjadi solusi. 

Kolaborasi ciamik yang diorkestrasi secara cantik oleh para cendekiawan dalam satu dasawarsa terakhir telah melahirkan suatu gerak harmonik yang mampu mengkanalisasi kemajuan teknologi biomedik dan berbagai teknologi suportifnya, seperti antara lain teknik bioinformatik. 

 

Kemajuan Bioinformatika

kemajuan bioinformatika


Kemajuan bioinformatika yang didukung oleh penerapan kecerdasan artifisial melalui pengembangan machine learning, telah banyak mengakselerasi dan menjadi solusi praktis dalam mengatasi kendala pengujian dan pencarian struktur zat aktif yang paling sesuai dengan suatu kondisi patologis. 

Modeling dan basis data (big data) berbagai jenis molekul protein seperti antigen, reseptor, nukleokapsid, dan lain-lain, serta struktur 3D dari berbagai zat aktif berpotensi obat (simplisia nabati, mikroba, enzim, hormon, endofit, dan lainnya), yang dilengkapi dengan data-data pendukung dari proses sekuensing dan juga data proteomik, menjadikan simulasi dan desain obat serta vaksin benar-benar mengalami percepatan yang bersifat revolusioner.

Historiografi genomik yang didukung oleh konsep 
blockchain juga dapat membantu memetakan sensitivitas (termasuk hipersensitivitas dan idiosinkrasi), dan juga berbagai pola interaksi di ranah farmakogenomik dan farmakodinamika.

Maka pengintegrasian bioinformatika di dalam riset biomedik dan bioteknologi terbukti memang dapat membantu percepatan pengembangan vaksin dan obat, termasuk fitofarmaka.  

 

Peran Bioinformatika dalam Pembuatan Vaksin

peran bioinformatika dalam pembuatan vaksin


Peran bioinformatika dan kecerdasan artifisial dalam desain vaksin antara lain adalah membantu mencari dan mengoptimasi kecocokan struktur protein. 

Machine Learning/ML dapat mengolah data hasil sekuens gen, struktur molekul secara geometrik/3 dimensi dari citra kristalografi, dan juga data ikatan kimia dalam konteks energetik.

Dalam 
modeling struktur, sistem cerdas dapat membantu membuat berbagai model molekul dalam berbagai keadaan (loop, fragmen, segmental, dll). 

Demikian juga dalam analisis hasil sekuensing genom. Sistem cerdas dapat memetakan profil dan struktur yang bersifat prediktif akan dimunculkan dalam proses ekspresi dari segmen gen tertentu.

Secara algoritmik dapat digambarkan bahwa proses mendesain sebuah vaksin dengan metode 
reverse vaccinology dimulai dari mengumpulkan data sampel berupa sel limfosit B/plasma yang bereaksi secara spesifik dengan antigen dari darah penderita yang terinfeksi. 

Lalu data tersebut digunakan untuk membuat model antibodi yang dianggap paling efektif dalam menetralisir antigen dari patogen (virus atau bakteri).

Langkah berikutnya setelah menemukan urutan sekuens dari antibodi spesifik (dengan 
Next Generation Sequencing) dan mendapat gambaran model strukturnya, maka sistem cerdas (bioinformatika- riset in silico) akan mendesain model antigen yang paling sesuai untuk menstimulasi produksi antibodi tersebut secara in vivo ( di dalam tubuh manusia). 

Fase akhir adalah pengujian imunogenisitas dari vaksin dengan antigen yang didesain berdasar data antibodi dari pasien. Jika terbukti efektif untuk membangkitkan respon sistem imunitas manusia, maka vaksin dapat dipergunakan secara luas. 

Adapun pasca perancangan dengan bantuan sistem cerdas (bioinformatika) maka pilihan model vaksin yang akan dikembangkan dapat disesuaikan dengan karakteristik patogen, sistem imun inang/
host, dan kesiapan fasilitas produksi berikut ketersediaan bahan baku. 

Strategi pengembangan vaksin Covid-19 Indonesia saat ini berfokus pada model Recombinant Sub Unit Viral Protein dan DNA pembawa gen virus. 

 

Vaksin Covid-19

vaksin covid-19


Model vaksin Rekombinan Sub Unit yang dikembangkan oleh Konsorsium Riset Covid-19 Kemenristek BRIN secara sederhana dapat digambarkan terdiri dari dua jalur persiapan di tahap awal. Penyiapan plasmid dari bakteri dan gen antigen virus (Sars CoV-2). 

Setelah plasmid dipanen dan gen antigen diinsersikan ke plasmid, maka plasmid dititipkan ke sel ragi rekombinan. Sel ragi bermuatan plasmid dengan antigen Sars CoV-2 diperbanyak melalui proses fermentasi. Setelah dipanen, plasmid dimurnikan (ekstraksi dan purifikasi) dan siap digunakan sebagai vaksin. 

Jenis lain dari vaksin yang dikembangkan dengan bantuabmn teknologi bioinformatika dan biomedik adalah vaksin DNA. Secara ringkas dapat digambarkan bahwa prinsip dasar dari vaksin berbasis DNA adalah dengan menitipkan kopi dari material genetik (gen) antigen (Sars CoV-2) ke dalam plasmid sebagai transporter untuk membawanya ke dalam tubuh manusia.

Secara paralel saat ini beberapa perusahaan bioteknologi global, seperti Moderna, Pfizer, BioNtech, AstraZeneca, dan Novavax juga mengembangkan vaksin yang ditujukan untuk mereduksi transmisi Covid-19. Moderna memilih metoda vaksin RNA karena telah memiliki platform dasar yang telah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir.

Intinya, mRNA virus yang telah diproses dan dimodifikasi didesain untuk menstimulasi sistem pengenalan dari divisi imunitas adaptif manusia, melalui 3 jalur sekaligus. 

Jalur pertama adalah melalui Antigen Presenting Cell/APC non profesional (MHC I) di jaringan yang akan mengaktivasi respon sel CD 8+ T ( T killer). 

Jalur kedua adalah melalui APC profesional (MHC II) di sistem limfe (nodus limfatikus) yang akan mengaktivasi respon imun seluler melalui CD4+ T (T Helper). 

Dan jalur ketiga adalah melalui mekanisme Antigen Dependent Cell Citotoxicity/ADCC melalui antibodi spesifik yang dihasilkan sel limfosit B. 

Kecepatan proses pengembangan, pengujian, dan manufaktur vaksin saat ini, tak pelak merupakan dampak dari terbangunnya sistem kolaborasi lintas disiplin ilmu. 

Kondisi pandemi sedikit banyak telah berperan dalam meruntuhkan silo atau tembok pembatas antardisiplin yang selama ini kerap menimbulkan kemandekan dalam proses peningkatan kualitas peradaban. 

Besar harapan, di masa depan 
platform kerjasama cerdas nan ikhlas yang didasari sikap welas ini akan menjadi bagian dari solusi permanen dalam upaya peningkatan kualitas hidup manusia secara berkesinambungan. 

Writer: Dr. Tauhid Nur Azhar, Msi.Med

Editor: Serenata Kedang