share

Mengenal Therapeutic Microbiome

31 Oct 2021

Mengenal Therapeutic Microbiome

Pernah mendengar tentang transplantasi feses? Bagi orang awam, hal ini pasti terdengar jorok dan tidak masuk akal. Namun, penelitian sudah membuktikan bahwa transplantasi microbiome dari feses ampuh mengatasi gangguan di usus. Hal ini menunjukkan bahwa microbiome bisa digunakan untuk tujuan pengobatan atau therapeutic microbiome.

Menurut jurnal 
Advanced Drug Delivery Reviews, tubuh manusia adalah rumah bagi beragam komunitas mikroorganisme simbiotik (menguntungkan), komensal (netral), dan patogen (menimbulkan penyakit). Komunitas ini biasa disebut mikrobiota (microbiome). Microbiome berdampak besar bagi kesehatan manusia, termasuk metabolisme, imunitas, serta hubungan antara usus dan otak (gut-brain axis).

Karena itulah, para peneliti tertarik untuk merancang terapi berbasis sel yang bisa berinteraksi dengan tubuh manusia. Mereka biasa menyebutnya 
therapeutic microbiome, atau microbiome yang digunakan untuk mengatasi penyakit. Contohnya, komunitas bakteri bisa diatur untuk melawan invasi patogen. 

Bahkan, dengan kemajuan biologi sintetis dan perkembangan di bidang manipulasi sel hidup, mikroba yang bisa mendeteksi dan menyembuhkan penyakit dengan menghasilkan molekul terapeutik seperti VEGF, GDNF, dan NCAM atau menguraikan metabolit toksik juga bisa dirancang.


Baca Juga: Peran Microbiome dalam Imunitas Kulit
 

Biologi Sintetis

biologi sintesis


Biologi sintetis adalah disiplin ilmu yang bertujuan menerapkan prinsip-prinsip teknik ke sistem biologi. Pakarnya bekerja di level spesies individual dengan merancang bakteri usus yang bukan hanya memberikan muatan terapeutik, melainkan juga memonitor dan merespons kondisi di dalam tubuh.

Merancang mikroba individual memiliki potensi aplikasi yang sangat luas. Bakteri usus bisa diubah untuk menghasilkan molekul terapeutik untuk mengatasi kondisi metabolik, membunuh patogen, dan memicu respons imun terhadap kanker.

Beberapa studi sudah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Peneliti studi yang dimuat di jurnal 
Nature Biomedical Engineering merancang bakteri usus yang menempel ke sel kanker usus dan mengeluarkan enzim yang mengonversi senyawa yang secara alami ditemukan di sayuran seperti brokoli menjadi molekul yang menghambat pertumbuhan tumor. Ketika diberikan ke tikus dengan kanker usus, tumornya mengecil dan lebih jarang kambuh.

Selain itu, para ahli biologi sintetis di jurnal 
Nature Biotechnology merancang bakteri untuk mendeteksi zat kimia yang dihasilkan oleh sel usus yang meradang. Sebagai responsnya, bakteri mengeluarkan sinyal molekular dan tetap mengeluarkannya meski inflamasi usus sudah mereda. 

Sinyal tersebut bisa dideteksi di sampel kotoran. Hal ini menunjukkan potensi penggunaan bakteri sebagai 
alat uji diagnostik hidup untuk penyakit radang usus yang seringkali berubah-ubah dan sulit dideteksi di klinik.

Bakteri yang dirancang dapat mengingat jenis lain dari sinyal lingkungan memungkinkan peneliti untuk menjelajah kondisi di wilayah usus lain. Hal ini sulit dilakukan dengan sampel kotoran konvensional. “Kami menginginkan bakteri yang seperti detektif yang menjelaskan apa yang terjadi saat mereka lewat (di usus),” kata Pamela Silver, salah satu peneliti di jurnal Nature Biotechnology.

Bakteri bahkan bisa dirancang untuk mendeteksi tanda penyakit dan merespons dengan menghasilkan molekul terapeutik. Menurut penelitian di jurnal 
Nature Communications, peneliti memberi kemampuan kepada bakteri probiotik untuk mendeteksi sinyal komunikasi yang dihasilkan oleh bakteri patogen. Bakteri probiotik lalu merespons dengan menghasilkan molekul antimikroba. Hal ini membantu mengatasi infeksi pada cacing dan tikus.

Baca Juga: Mau Stress-Free? Jaga Kesehatan Usus dengan Rajin Olahraga!
 

Ekologi Sintetis

ekologi sintesis


Jika pakar biologi sintetis mengubah bakteri secara individual, pakar ekologi sintetis melihat usus sebagai ekosistem. Bagaikan kota yang berfungsi karena banyak orang melakukan tugas yang berbeda, usus adalah tempat berinteraksinya banyak mikroba yang menjalankan fungsi berbeda.  Mereka menyusun komunitas mikroba yang berinteraksi menghasilkan senyawa atau perilaku untuk manfaat medis.

Contohnya adalah transplantasi mikrobiota feses (FMT). Feses dari donor yang sehat digunakan sebagai pengobatan tahap akhir bagi orang dengan infeksi usus yang parah dan berulang akibat bakteri 
Clostridium difficile. Ternyata, pasien yang diberi antibiotik dan penyakitnya kambuh menjadi sembuh saat diberi transplantasi feses. Kesuksesan ini menunjukkan bahwa
ekologi usus bisa dimanipulasi untuk mengobati penyakit.

Beberapa interaksi bersifat metabolik. Satu bakteri mungkin memproduksi sesuatu yang dikonsumsi bakteri lain, atau satu mikroba menghambat pertumbuhan bakteri lain. Dengan bekerja sama, komunitas mikroba menghasilkan molekul atau perilaku yang tidak muncul jika beraksi sendiri. 
 

Kelebihan dan Kekurangan Microbiome Engineering

kelebihan dan kekurangan microbiome engineering


Aplikasi perancangan microbiome (microbiome engineering) pada akhirnya adalah kombinasi biologi sintetis dan ekologi sintetis. Para ilmuwan akan menciptakan komunitas yang mengandung bakteri yang dirancang secara genetik, lalu perilaku kolektifnya akan memberikan manfaat terapeutik.

Salah satu keuntungan dari pendekatan ini adalah ilmuwan dapat membagikan tugas metabolik berbeda kepada bakteri-bakteri yang berbeda. Jadi, tekanan fisiologis untuk membuat obat atau vitamin tidak hanya dibebankan pada satu bakteri.

Potensi manfaat dari merancang 
microbiome usus sangat besar, tapi tantangannya pun tak bisa diremehkan. Dibanding microbiome manusia lainnya, microbiome usus adalah yang paling besar dan rumit. Banyak yang perlu dipelajari tentang penghuninya, gennya, serta interaksinya.

Baca Juga: Bisakah Depresi Disembuhkan dengan Peran Bakteri di Usus?

Bagaimanapun, penelitian-penelitian tadi membawa secercah harapan akan penerapan therapeutic microbiome di masa depan. Semoga nantinya semakin banyak masalah kesehatan terpecahkan berkat kemajuan di bidang microbiome, ya!

Nusantics pun sebagai perusahaan bioteknologi di Indonesia yang berfokus pada teknologi dan penelitian 
microbiome, sudah banyak merancang inovasi yang saat ini bisa dinikmati masyarakat. Mulai dari PCR Gargle BioSaliva, mBioCov-19, dan layanan terbarunya yakni Covid AirScan.

Lewat Covid AirScan, kamu bisa mendeteksi dan memonitor 
microbiome ruangan sekitarmu, apakah sudah bebas dari virus-virus penyebab penyakit, termasuk COVID-19. Tertarik mencoba? Cek infonya di sini!

Referensi:

Writer: Fitria Rahmadianti

Editor: Serenata Kedang