• Home
  • Blog

share

Dunia Tak Kasat Mata yang Menjadikan Kita Manusia

18 Jan 2021

Dunia Tak Kasat Mata yang Menjadikan Kita Manusia

Artikel ditulis oleh: Dr. Tauhid Nur Azhar, Msi.Med
Medical Doctor, Phd. in Immunology and Microbiology


Banyak peneliti imunologi dan juga mikrobiologi semenjak awal penasaran dengan peran mikrobiota yang hidup di tubuh manusia. Bahkan dari segi jumlah, beberapa peneliti dari berbagai institusi yang berbeda, sepakat bahwa flora normal yang tergabung dalam koloni mikrobioma yang hidup di saluran cerna, kulit, dan berbagai sistem tubuh manusia ternyata jumlahnya melebihi sel 
host atau tuan rumahnya. 

Menurut penelitian di Weizman Institute, rasio mikrobioma dengan sel tubuh diperkirakan sekitar 1:1,3. Sedangkan menurut  American Academic Microbiology 1:3. Atau, jika dalam bentuk prakiraan terkuantifikasi adalah sekitar 111 triliun sel mikroba. 

Dengan jumlah yang masif seperti itu, tentu ada fungsi pula yang melekat pada mikrobioma yang tergolong flora normal tersebut. Belakangan malah fokus penelitian bakteri komensal dan flora normal mengarah pada hubungannya dengan sistem neurofisiologi, baik secara langsung ataupun tidak langsung. 

 

Konsep Gut-Brain

konsep gut brain


Konsep Gut-Brain tampaknya sudah mulai dipercaya oleh banyak peneliti merupakan suatu bentuk interaksi yang menjembatani hubungan antara unsur eksternal dengan internal di tubuh manusia. 

Premisnya: jika flora normal dapat mempengaruhi neurotransmiter dan lain-lain, maka keberadaannya yang dipengaruhi asupan unsur prebiotik atau 
synbiotic yang notabene berasal dari makanan, minuman yang berasal dari alam, maka bakteri probiotik adalah suatu entitas penghubung yang menjadi caraka (“kurir”) antara semesta dengan manusia. 

Hubungan antara bakteri saluran cerna dengan otak manusia misalnya dapat dilihat pada hasil riset Jeroen Raes (VIB/ Belgia) yang mendapati fakta bahwa Coprococcus dan Dialister diduga kuat berpengaruh pada produksi Dopamin yang merupakan neurotransmiter yang terlibat dalam berbagai proses mental seperti motivasi dan 
reward mechanism

Sementara Elaine Hsiao dari Department of Integrative Biology and Physiology UCLA, mendapati fakta bahwa 9 dari 10 bagian serotonin ternyata proses sintesisnya dipengaruhi oleh bakteri di jaringan gastrointestinal. 

Dengan demikian, menjadi jelas hubungan antara apa yang berinteraksi dengan kita melalui produk alam dengan "siapa" kita yang akan direpresentasikan antara lain melalui 
behavioural biology
 

Bakteri “Penghuni” Saluran Cerna

bakteri penghuni saluran cerna


Sementara diversitas yang menjadi bagian dari ekosistem flora normal, khususnya di saluran cerna dihuni secara variatif oleh beberapa kelompok bakteri yang terbagi atas bakteri anaerobik dan aerobik. 

Genera bakteri anaerobik yang paling umum dalam konsentrasi saluran cerna adalah Bacteroides, Bifidobacterium, Eubacterium, Fusobacterium, Clostridium, dan Lactobacillus. 

Koloni mikrobiota aerobik yang didapati di saluran cerna antara lain adalah bakteri Gram-negatif enterik (Escherichia coli dan Salmonella spp.) dan juga bakteri gram-positif cocci (Enterococcus, Staphylococcus dan Streptococcus). 

Selain bakteri aerob, spesies jamur aerobik, seperti Candida albicans, juga termasuk anggota mikrobiota normal (Mairi, 2004 : 563). 

Sekilas secara hipotetikal kondisi tersebut menjadi bukti bahwa orkestrasi semesta bekerja dalam berbagai bentuk interaksi yang terencana dengan sifat terkoneksi, mampu berkomunikasi, dan juga dapat membangun sistem kolaborasi. 

 

You Are What You Eat

you are what you eat


Lebih sederhana lagi, tidak usah sampai memikirkan hal-hal njlimet seperti nutri dan psikogenomik, pepatah terdahulu “you are what you eat” ternyata malah semakin relevan dengan keadaan kekinian. 

Apabila kebutuhan dasar flora normal yang membantu proses sintesis neurotransmiter tertentu tidak tercukupi secara adekuat, misal adanya kekurangan 
short chain fatty acid (SCFA), maka kinerja bakteri yang membutuhkan unsur nutrisi tersebut juga akan bersifat inadekuat, alias tidak optimal. 

Artinya, saat kita makan tidak proporsional dan tidak sesuai kebutuhan, masalah yang akan timbul bukan semata persoalan metabolik saja, melainkan juga kita dapat memicu masalah neurofisiologi yang berdampak pada perubahan perilaku.

Keberadaan mikrobioma di tubuh kita juga bukan semata terkait kinerja sistem metabolisme saja, tetapi tentu juga memiliki peran penting dalam kinerja sistem imunitas tubuh. 

 

Microbiome dan Sistem Imun Tubuh


Kondisi sistem imun amat dipengaruhi oleh mikrobioma yang ada di saluran cerna. Tidak hanya sistem imun sebenarnya, melainkan juga kinerja neurofisiologi. 

Karena ada banyak peran dari elemen di mikrobioma saluran cerna dalam regulasi sistem komunikasi di sistem syaraf pusat, melalui neurotransmiter, neuroendokrin, atau neuropeptida. Sintesa Serotonin dan Dopamin misalnya. 

Maka, jika terjadi suatu kondisi disbiosis, akan terjadi pula serangkaian gangguan sistemik pada sistem imun dan neurofisiologi. 

 

Apa Itu Disbiosis?

apa itu disbiosis


Disbiosis merupakan suatu kondisi di mana terjadi ketidakseimbangan jumlah mikroorganisme dalam saluran cerna manusia. Filum utama mikroorganisme yang hidup dalam saluran cerna adalah Firmicutes, Bacteroidetes, Actinobacteria, dan Proteobacteria. 

Pada kondisi normal, koloni mikroorganisme bersifat sebagai flora normal (baik flora residen yang menetap, ataupun flora transien yang sekedar transit/singgah) dengan tugas membantu proses pencernaan, menjaga sistem imun, serta kinerja sistem neurofisiologi.  

Namun, jika terjadi perubahan jumlah dan jenis koloni mikroorganisme dalam mikrobioma secara signifikan, maka akan terjadi berbagai kondisi patologis. 

Disbiosis dapat memicu terjadinya gangguan proses absorbsi atau penyerapan nutrisi yang dapat mendorong munculnya kelainan metabolik. 

Apa sajakah yang dapat menimbulkan terjadinya fenomena disbiosis? Antara lain adalah perubahan pola konsumsi, penggunaan antibiotik secara irasional, gaya hidup kurang sehat (miskin gerak, stres, pola tidur, dan lain-lain), serta kurang beragamnya varian/jenis asupan (pola makan monokultur). 

 

Keberagaman Microbiome

keberagaman microbiome


Maka, kembali pada kearifan lokal yang bijak dalam mengolah berbagai potensi pangan di habitat atau bioma kita adalah salah satu upaya untuk mempreservasi keberagaman mikrobioma di saluran cerna kita. 

Setiap daerah berdasar karakter geografis, profil bentang alam, juga keunikan karakteristik manusianya secara genetik sampai pada pola interaksi sosial budayanya, tentu memiliki kearifan dalam proses pengelolaan bahan pangan lokal. 

Di beberapa daerah di pesisir selatan Jawa dengan karakteristik geologis didominasi kawasan 
karst yang minim sumber air permukaan, memiliki kebijakan untuk mengolah singkong menjadi bahan pangan pokok. Mulai dari tiwul sampai mie lethek menjadi produk inovasi adaptifnya. 

Tentu pilihan ini tanpa disadari juga ternyata dapat mengakomodir berbagai prasyarat fisiologis yang dibutuhkan dari proses konsumsi bahan pangan. 

Ada rasio pati dengan proteinnya, kandungan asam lemak, sampai ke mineral dan 
trace element yang ternyata bisa mensubstitusi kebutuhan sesuai dengan kondisi lokal. 

Manusia itu makhluk adaptif, dan alam itu pemurah yang juga tidak selektif. Tidak pilih-pilih untuk berbagi rezeki. 


Maka, barangsiapa yang memiliki ilmu dan mampu mensyukurinya, maka tentu akan ditemuinya begitu banyak nikmat di manapun lokasi dia berkhidmat.

Writer: Dr. Tauhid Nur Azhar, Msi.Med

Editor: Serenata Kedang