• Home
  • Blog

share

Bonus Track Serial: Menelusuri Jejak Nilai-Nilai Luhur Warisan Nusantara

26 Jan 2021

Bonus Track Serial: Menelusuri Jejak Nilai-Nilai Luhur Warisan Nusantara

Kearifan Fermentasi, Kearifan Preservasi, Kearifan Mensyukuri

Artikel ditulis oleh: Dr. Tauhid Nur Azhar, Msi.Med
Medical Doctor, Phd. in Immunology and Microbiology


Berlimpahnya sumber daya agromina tani di Nusantara tentu sebuah keniscayaan yang tak dapat dipungkiri. 

Biodiversitas isi samudera, pesisir, kawasan mangrove, sampai air tawar di Nusantara adalah salah satu yang terkaya di dunia. 

Demikian juga potensi sumber daya hayati berupa keragaman flora dan fauna yang sebagian besar ada di naungan hutan tropis kita dengan keragaman spesies yang hanya bisa disaingi oleh hutan Amazon di Amerika Latin sana. 

Dan jangan lupa, di balik semua yang terlihat mata, masih banyak "potensi tak kasat mata" yang tersembunyi dan menanti untuk dieksplorasi. Ada endofit, mikroba, jamur, sampai berbagai kandungan mineral endemik yang memfasilitasi hadirnya kandungan nutrisi dalam berbagai tumbuhan menjadi begitu ciamik. 

Kopi Indonesia misalnya, hanya perlu 10-15 tahun saja untuk menggeser pesona kopi asli dari Afrika di pasar Eropa pada abad ke 18. Mengapa? Karena suguhan cita rasa yang dimilikinya begitu kaya, begitu penuh dengan berbagai unsur dan elemen yang terorkestra dengan sempurna.

Keragaman makhluk mungil tak kasat mata ini pula yang oleh nenek moyang kita dimanfaatkan dengan sangat cerdiknya. 

 

Budaya Kuliner Indonesia dan Microbiome

budaya kuliner indonesia


Belajar dari kearifan global, budaya kuliner Nusantara mampu mengolah berbagai bahan pangan dengan memanfaatkan mikroba. Proses fermentasi namanya. Tempe, tape, kecap, brem, tempoyak, bakasang, rusip, dan terasi beberapa contoh di antaranya. Sacharomyces sampai Lactobacillus menjadi sarananya. Ikan, udang, rebon, kedelai, singkong, sampai durian menjadi bahan bakunya. Indah, bukan?

Untuk apa nenek moyang kita repot-repot melakukan itu semua? Pertama, ini adalah cara cerdas untuk mensyukuri keberlimpahan bahan pangan dan mengawetkannya (preservasi) agar dapat dikonsumsi di saat-saat sumber makanan sulit didapati, misal kemarau panjang atau adanya bencana alam. 

Kedua, tentu saja proses fermentasi meningkatkan kualitas rasa, alias menghadirkan level kelezatan yang berbeda.

Dan yang ketiga, tanpa disadari sebelumnya, proses fermentasi itu memberi dampak konstruktif bagi kesehatan. Membantu "memotong" makromolekul protein menjadi gugus asam amino yang lebih mudah diserap dan diolah tubuh, juga produk-produk fermentasi ini bisa membantu kinerja sistem metabolisme. 

Tak hanya itu saja sebenarnya, produk pangan fermentasi juga bisa menstimulasi terjaganya ekosistem flora normal yang ada di tubuh kita.

Mari kita simak kisah tentang salah satu produk fermentasi yang merupakan warisan kearifan budaya kuliner Nusantara yang istimewa, Tarasi.

 

Lakon Tarasi dalam Simfoni Umami

lakon tarasi


Terasi? Begitu menyebut nama produk kuliner yang satu ini, teori Pavlov untuk orang Indonesia segera terbukti.

Hmmmmm…! Air liur mengumpul dan angan dipenuhi nuansa dapur dengan asap kayu bakar yang mengepul, sementara di salah satu pojok Ibu sedang bergelut dengan cobek batu Muntilan, menggerus dengan bernas potongan-potongan cabai merah, cabai rawit, bawang, dan tomat, serta tentu saja sang bintang utama: 
sak ndulit benda cokelat kemerahan--setengah lembek setengah padat--yang aromanya… Ya, ampun! Dapat membuat nangis jika tiga purnama tidak bisa berjumpa. 

Ngangenin. Mungkin itu perasaan yang tepat untuk menggambarkan perasaan Admiral Mao San Bao alias Pak Dhe Ceng Ho saat harus berlayar kembali ke negerinya. Saat melamun dan mengenang misi muhibahnya ke Nusantara, sepertinya beliau terkenang akan benda cokelat ajaib ini. 

Meski asli Kunming, tapi soal rasa dan konfigurasi asam amino yang mampu membangkitkan reseptor gustatoria tampaknya ada kesamaan universal pada spesies manusia. Umami salah satu penyebabnya. 

Terasi yang terdiri dari rebon alias udang kecil yang diberi garam dan difermentasi secara alami, adalah sumber asam amino dan mineral yang baik. Tidak heran jika Pangeran Cakrabuana, Kuwu Cirebon di sekitar tahun 1415, punya hobi mengumpulkan udang kecil di pantai dan membuat tarasi. 

Inilah varian yang dibawa pulang Cheng Ho ke Cina. Cheng Ho membawa Islam ke Indonesia lewat hubungannya dengan Syech Quro dan Nurjati, dan dia membawa pulang tarasi. Sang penjelajah samudera barat yang dikenal sebagai Sinbad di dunia barat, sang punggawa peta Kangnido, sang laksamana terberani Kaisar Yongle, akhirnya tak berdaya, bertekuk lutut pada sebongkah benda lembek nan beraroma aduhai...

Tak hanya Zheng He alias Haji Mahmud Syamsudin saja yang berperkara dengan tarasi. Ternyata raja-raja Pajajaran di Galuh dan Pakuan yang relatif jauh dari daerah pesisiran juga jatuh cinta pada tarasi. Ada hikayat yang menyebutkan bahwa para raja itu gemar menaburkan terasi di setiap jenis masakan. 

Sampai akhirnya, tarasi terakumulasi sempurna di titik kulminasi masakan Nusantara, sambal. Makanan paling berbahaya yang dapat membuat penikmatnya hilang ingatan dan bertingkah tak terkendali karena diperbudak sensasi umami. 

 

Umami? Apa Itu?


apa itu umami


Umami? Apa itu gerangan? Umami adalah rasa dari asam amino L-glutamat dan 5'-ribonukleotida seperti guanosin monofosfat (GMP) dan inosin monofosfat (IMP). Sensasi umami ditimbulkan oleh deteksi anion karboksilat dari glutamat dalam sel reseptor khusus yang ada pada lidah manusia dan hewan. 

Jadi tidak salah-salah amat ya, jika kucing Oren nan 
buandel demen pisan sama lauk asin alias gereh dan juga tarasi… ya tarasi. 

Tapi tentu saja umat manusia dalam soal kenikmatan punya kesamaan. Tarasi dalam berbagai variannya ternyata bisa juga lho ditemukan di berbagai peradaban. 

Orang Korea mengenal produk fermentasi berbahan dasar 
seafood dengan nama sae woo jeot. Orang Melayu di Malaysia dan Singapura memakai istilah belacan. Istilah ini juga dipakai di sebagian daerah berbahasa dan berbudaya Melayu di Indonesia, misal di Riau dan Kepulauan Riau. 

Di Birma atau Myanmar disebut ngapi seinsa. Kalau di Filipina namanya bagoong alamang. Dan di Thailand dikenal dengan kapi. Malah di Vietnam ada dua jenis; mam ruoc dan mam tom. 

Sementara kalau di Nusantara, sejarah terasi dan berbagai produk fermentasi sebagai upaya preservasi bahan makanan bahkan variannya sangat beragam. 

Warisan kearifan lokal nan luhur ini mesti dijaga dan dilestarikan. Di Banda Neira dan kepulauan Maluku sampai ke area Arafura dikenal suatu jenis produk bernama Bakasang. 

Bakasang adalah produk fermentasi jeroan ikan berupa larutan kental, dibuat dari jeroan ikan melalui fermentasi dengan penambahan garam, yang rasanya asam dan biasanya disajikan untuk pelengkap lauk dengan dibumbui cabai dan gula.

Dari segi nutrisi, selain persoalan kandungan asam amino yang berkorelasi dengan kemunculan sensasi umami, ternyata komposisi gizi terasi lumayan berisi, nih.

Dalam 100 gram terasi terdapat kandungan energi sebanyak 155 kalori, protein 22,3 gram, lemak 2,9 gram, hingga vitamin B, fosfor dan kalsium. 

Ya, memang jarang sih yang 
ngemplok 100 gram sekali suap, tetapi kearifan lokal yg memadupadankannya dengan lalap sayur segar sebagai sumber serat dan vitamin yang baik, juga dengan nasi merah yang kaya akan vitamin B1 dan B12 misalnya, adalah suatu komposisi nan harmonik yang terorkestrasi sedemikian indah dalam simfoni yang dikonduktori tarasi. 

Laper ah… 
Nyambel dulu, yuk!

Writer: Dr. Tauhid Nur Azhar, Msi.Med

Editor: Serenata Kedang