Blog
Bisakah Depresi Disembuhkan dengan Peran Bakteri di Usus?
January 26, 2021 by Fitria Rahmadianti
Share
Penelitian tentang microbiome atau triliunan mikroba yang hidup di tubuh kita semakin marak dilakukan. Bukan cuma terkait kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental. Penelitian menunjukkan bahwa mengubah keseimbangan bakteri di usus bisa mengubah suasana hati dan perilaku yang menjadi gejala depresi dan kecemasan, lho!
Beberapa studi sejak 2016 menunjukkan bahwa transplantasi feses bisa sangat membentuk perilaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika feses dari pendonor yang punya tanda-tanda kecemasan dan depresi, bisa menimbulkan gejala gangguan mood pada subjek yang didonorkan.
Studi terpisah yang dipublikasikan di jurnal Molecular Psychiatry memperlihatkan bahwa subjek yang menerima transplantasi feses dari pendonor yang depresi juga mengalami gejala depresi. Sebaliknya, pada sebuah penelitian di tahun 2019, subjek stres yang menerima transplantasi dari pendonor yang tidak stres ternyata bersikap tidak terlalu depresi.
“Dengan mengubah microbiome usus, peneliti bisa mengubah perilaku tikus. Hal ini menyiratkan efek sebab-akibat,” jelas psikolog riset klinis Lauren Bylsma.
Peneliti sebuah studi di tahun 2019 menemukan bahwa penderita depresi memiliki bakteri usus tertentu yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami depresi. Kadar bakteri Coprococcus dan Dialister dilaporkan secara konsisten kosong pada pengidap depresi.
Survei terhadap percobaan terkontrol berskala kecil menemukan bahwa bakteri Bifidobacterium dan Lactobacillus bisa memperbaiki gejala depresi secara keseluruhan. Studi lain pun menunjukkan efek yang sama terhadap kecemasan.
Sebuah studi di Australia pada 2017 bahkan menunjukkan bahwa diet yang mengandung bakteri bermanfaat dalam kadar lebih tinggi bisa mengenyahkan depresi pada lebih dari sepertiga orang.
Selain itu, pada penelitian di Jepang di tahun 2019, 12 dari 29 peserta yang mengalami skizofrenia dan meminum Bifidobacterium jenis tertentu merasakan bahwa gejala depresi dan kecemasan mereka mulai reda dalam empat minggu.
Para ahli memprediksi kemunculan jenis terapi probiotik yang disebut “psikobiotik”. Jadi, penderita depresi, kecemasan, atau masalah kesehatan mental lain akan secara rutin diperiksa microbiome-nya.
Orang yang memiliki kesehatan mental buruk memiliki kadar bakteri rendah, bisa menerima transplantasi probiotik atau feses yang dibuat khusus untuk memperbaiki ketidakseimbangan microbiome-nya dari orang-orang sehat yang punya bakteri dalam jumlah banyak.
Salah satu orang yang sudah mencoba adalah Tom Peters. Pria berusia 50 tahun ini mengalami gejala depresi. Ia sudah sering meminum Prozac sampai-sampai ia merasa obat antidepresan ini sudah tak manjur lagi.
“Saya merasa mulai kebal,” kata Peters kepada Discover Magazine. Hal serupa dirasakan hampir oleh semua orang yang meminum obat semacam itu dalam jangka panjang.
Psikiater Peters pun meresepkan antidepresan baru dengan dosis lebih tinggi. Namun, Peters malah merasa lebih lamban dan lesu.
Istri Peters yang mengalami serangan panik dan membaik setelah meminum mood probiotics (bakteri usus untuk mengatasi depresi dan kecemasan), menyarankan Peters mencoba terapi yang sama. Awalnya Peters sangat skeptis, tapi ia akhirnya mau karena lelah menghadapi episode-episode depresinya.
Setelah seminggu mencoba probiotik, ia mulai merasakan perubahan suasana hati yang awalnya samar lalu lama-lama jadi semakin jelas. “Saya merasa lebih energik, lebih positif, lebih tenang di malam hari,” ujar Peters.
Ia tidak merasakan kegembiraan yang tidak wajar dan tak henti-henti, melainkan rasa tenang dari dalam dirinya. Seakan-akan “ombak” yang menghantam Peters kini sudah reda.
Probiotik yang diminum Peters yakni Lactobacillus helveticus dan Bifidobacterium longum sebenarnya belum diuji secara klinis terhadap manusia dalam skala besar. Namun, di studi yang lebih kecil terhadap manusia, probiotik ini menjanjikan peningkatan suasana hati.
Bagaimanapun, belum ada bukti bahwa kekurangan bakteri benar-benar bisa menyebabkan depresi. Untuk saat ini pun tidak ada yang tahu jika probiotik bisa membantu mengatasinya.
“Perlu ditekankan bahwa area penelitian ini masih sangat di fase awal,” tegas Sanjay Noonan, peneliti dari Brighton and Sussex Medical School di Inggris.
Noonan dan rekan-rekannya meninjau beberapa studi dan menyimpulkan bahwa rata-rata gejala depresi pada pasien yang diteliti membaik dalam 2-3 bulan. Namun, beberapa percobaan tidak melibatkan kelompok perbandingan yang meminum suplemen tak aktif untuk mempertimbangkan efek plasebo (pasien merasa lebih baik karena menerima terapi dan percaya bahwa terapi tersebut berhasil).
Masalah lainnya adalah percobaan-percobaan tersebut tidak memberi petunjuk terkait bakteri jenis mana yang bermanfaat. “Jadi, sangat penting untuk diingat bahwa probiotik dipandang sebagai pelengkap pengobatan standar yang direkomendasikan dokter, bukan sebagai alternatif,” John Cryan, profesor di University College Cork, Irlandia, mengingatkan.
Wah, ternyata peran bakteri lumayan besar dalam kehidupan manusia, ya? Untuk itu, mulai sekarang yuk rajin konsumsi probiotik, prebiotik, dan terapkan pola hidup sehat supaya kamu bisa terhindar dari depresi. Jangan lupa mampir ke Nusantics Blog untuk membaca artikel informatif terkait microbiome dan kesehatan mental lainnya, ya!
Referensi:
Fresh Articles
The most established precision molecular diagnostics company in Indonesia
Find Us
Mon - Fri: 9 a.m. - 6 p.m.
i3L Campus @ Lvl. 3
Jl. Pulomas Barat No.Kav.88, RT.4/RW.9, Kayu Putih, Pulo Gadung,
Jakarta Timur 13210
Contact Us
hello@nusantics.com
+62 (21) 509 194 30
Copyright © 2024 PT Riset Nusantara Genetika, PT Nusantara Butuh Diagnostik. All Rights Reserved.Privacy Policy
© 2024 PT Riset Nusantara Genetika.
Privacy Policy