• Home
  • Blog

share

Apa Hubungan Kesehatan Mental dengan Microbiome?

1 Dec 2020

Apa Hubungan Kesehatan Mental dengan Microbiome?

Berbicara tentang kesehatan mental, pasti kamu akan mengaitkannya dengan otak. Padahal, kesehatan mental juga berhubungan dengan microbiome usus, lho.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menyatakan bahwa depresi adalah kontributor tunggal terbesar kelumpuhan di seluruh dunia. Namun, pengobatan yang ada saat ini hanya bisa menyebabkan remisi (ketiadaan gejala) kurang dari 50%. 

Di waktu yang sama, semakin banyak data menunjukkan kaitan berulang antara kualitas diet, 
microbiome usus, dan kerentanan terhadap berbagai penyakit mental terlepas dari faktor-faktor risiko lain.
 

Hubungan antara Inflamasi Usus dan Kesehatan Mental

inflamasi dan kesehatan mental


Para dokter sudah lama mengetahui bahwa masalah kesehatan mental seperti gangguan bipolar dan bahkan autisme sering berkaitan dengan masalah usus, contohnya inflamasi. Usus sendiri adalah organ imunitas terbesar di tubuh yang menjadi tempat berkumpulnya mikroba terbanyak di tubuh.

Microbiome usus berperan penting dalam fungsi fisiologis, di antaranya memfasilitasi metabolisme, membantu memperkuat stabilitas lapisan penghalang usus, memberikan nutrisi bagi sel usus, serta menghasilkan neurotransmitter.

Peneliti dari University of Colorado Boulder menemukan bahwa stres mengganggu hubungan yang biasanya stabil antara bakteri usus dan inangnya, sehingga menimbulkan inflamasi usus. Memberikan tikus probiotik yang mengandung bakteri yang dikenal penting untuk fungsi sistem imunitas tidak hanya mengatasi peradangan, tapi juga mengurangi perilaku terkait stres.

Para ilmuwan juga telah menunjukkan bahwa mengubah 
microbiome usus dengan memberikan probiotik (suplemen bakteri hidup) dan prebiotik (suplemen serat pangan yang mendorong pertumbuhan bakteri) bisa memperbaiki respons stres, mengurangi kecemasan, dan meredakan efek masalah kesehatan mental lain.

Begitupun sebaliknya. Memasukkan 
microbiome manusia yang depresi dapat menghasilkan perilaku seperti depresi dan cemas juga. Artinya, usus adalah bioreaktor penting untuk mikroba yang dapat mengubah kondisi mental.

Analisis data terhadap lebih dari 1.000 orang di Belgia dan Belanda menunjukkan bahwa keberadaan beberapa jenis bakteri usus secara konsisten berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih baik. Ketiadaannya pun konstan dikaitkan dengan depresi.

Namun, keragaman bakteri dan caranya berinteraksi bisa memengaruhi sinyal yang dikirimkan ke otak lewat saraf dan jalur kimiawi yang berbasis di sistem pencernaan. Dengan demikian, kekurangan zat gizi dalam diet yang mengakibatkan berkurangnya keragaman populasi bakteri usus bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mentalmu.

 

Cara Mikroba Usus Berkomunikasi dengan Otak

mikroba usus komunikasi dengan otak


Menurut Ted Dinan, Head of Researcher microbiome-gut-brain axis di Alimentary Pharmabotic Centre (APC) Irlandia, ada tiga kemungkinan rute komunikasi antara mikrobiota usus dan otak, yakni:

  1. Zat kimia yang diproduksi bakteri bisa memengaruhi sinyal yang dikirimkan dari jutaan ujung saraf di sistem pencernaan ke otak lewat saraf vagus. Saraf ini meneruskan sinyal dari usus besar ke batang otak.
  2. Peneliti di APC mengindikasikan bahwa beberapa bakteri usus seperti Bifidobacteria menghasilkan asam amino yang disebut triptofan. Triptofan adalah zat penting yang menyusun neurotransmitter serotonin, yakni senyawa esensial di otak yang dikenal memengaruhi suasana hati. “Otak membutuhkan pasokan triptofan secara konstan dan mikrobiota berperan menyediakannya,” jelas Dinan.
  3. Bakteri memengaruhi ekspresi gen di otak. Ketika mikroba mencerna serat, asam lemak rantai pendek dilepas sebagai produk sampingan. Kemungkinan asam tersebut berjalan di aliran darah menuju otak dan berperan sebagai modulator epigenetik yang memprogram ulang beberapa fungsi otak dan memengaruhi suasana hati.
 

Psikobiotik, Alternatif untuk Mengatasi Masalah Kesehatan Mental?


psikobiotik


Beberapa temuan ilmiah memberikan secercah cahaya pada pengobatan jenis baru untuk masalah kesehatan mental, yakni psikobiotik atau treatment berbasis microbiome. Psikobiotik diharapkan bisa menjadi metode pengobatan ampuh untuk depresi dan kondisi kesehatan mental lain serta membantu mengatasi stres dan kecemasan sehari-hari.

Namun, bukan berarti intervensi obat-obatan dan psikologis bisa diabaikan, ya. Kesehatan mental dipengaruhi oleh banyak faktor dan seringkali memerlukan beberapa bentuk terapi. Menyesuaikan diet sebagai strategi pencegahan atau intervensi yang menjanjikan untuk depresi, kecemasan, dan gangguan kesehatan mental lainnya tidak boleh menggantikan terapi standar.


By the way, berikut beberapa bukti bahwa mengubah microbiome bisa membantu mengatasi gangguan mental:
 

1. Depresi


Menurut Tim Spector, profesor epidemiologi genetik di King’s College London, dalam memerangi depresi yang dipicu oleh perpaduan kompleks faktor genetik dan lingkungan, probiotik bisa menjadi senjata alternatif. Selain itu, meski gen jelas penting dalam menentukan siapa yang terkena depresi, mengubah microbiome bisa mengesampingkan faktor genetik.
 

2. Bipolar Disorder


Probiotik dan prebiotik kemungkinan juga memiliki peran dalam kesehatan mental jangka panjang meski seseorang sudah mengalami masalah kesehatan mental sebelumnya. Peneliti di Baltimore, Amerika Serikat, menemukan bahwa memberi probiotik ke orang yang sudah keluar dari rumah sakit karena fase “manic” (perilaku ekstrem) gangguan bipolar membuat risikonya dirawat di rumah sakit lagi jauh lebih berkurang.
 

3. Autisme


Beberapa potensi psikobiotik yang paling menarik adalah pada kondisi kesehatan mental yang pengobatannya sulit, tidak efektif, atau membawa efek samping tidak menyenangkan. Ada beberapa penelitian mengindikasikan bahwa transplantasi mikroba bisa berguna pada penderita gangguan spektrum autisme (ASD). 

Penelitian Arizona State University, contohnya, melaporkan bahwa mengatasi masalah gastrointestinal pada anak dengan ASD melalui transplantasi mikroba dari donor yang sehat juga memberikan peningkatan pada keterampilan bahasa, interaksi sosial, serta perilakunya.

Sayang, psikobiotik rasanya belum bisa diterapkan dalam waktu dekat. Salah satu masalahnya adalah belum ada studi tentang seberapa banyak probiotik yang harus dikonsumsi agar bisa berefek. 

Masalah lainnya adalah 
microbiome setiap orang berbeda. “Artinya satu treatment standar tidak bisa berhasil untuk semua orang. Ujung-ujungnya kita memerlukan probiotik yang dipersonalisasi, sehingga akan mahal,” jelas Spector.

Semoga kecanggihan teknologi bisa mewujudkan psikobiotik sebagai terapi kesehatan mental di masa depan, ya! Buat kamu yang masih penasaran dengan artikel menarik tentang 
microbiome lainnya, yuk kunjungi Nusantics Blog.

Referensi:

Writer: Fitria Rahmadianti

Editor: Serenata Kedang