• Home
  • Blog

share

Alergi Makanan Ternyata Berhubungan dengan Microbiome, Lho!

25 Nov 2020

Alergi Makanan Ternyata Berhubungan dengan Microbiome, Lho!

Dinamika dan fungsi mikrobiota yang menempati tubuh seseorang (microbiome) berkontribusi pada sehat atau sakitnya ia. Microbiome adalah sekumpulan mikroorganisme (jamur, virus, bakteri, dan arkea) yang hidup dan berperan penting dalam manusia. Begitu pentingnya peran microbiome, sampai-sampai alergi makanan pun diduga memiliki hubungan dengan ketidakseimbangan microbiome atau disbiosis.

Menurut penelitian, perkembangan alergi makanan diawali dengan ketidakseimbangan 
microbiomeMicrobiome usus pada penderita alergi makanan dan orang sehat berbeda, begitu pula pada orang-orang dengan alergi jenis makanan yang berbeda.

Bakteri dari famili 
Lachnospiraceae, Streptococcaceae, dan Leuconostoc Aceae tampak lebih banyak terdapat pada microbiome usus anak-anak dengan alergi telur dibanding pada anak-anak yang tidak mengalami alergi. Sementara itu, bayi yang mengalami alergi susu memiliki microbiome usus yang didominasi Lachnospiraceae dan Rumino Coccaceae.

Kapan terjadinya disbiosis pun menjadi salah satu faktor kunci. Peneliti menemukan bahwa filum Firmicutes, termasuk Clostridia, lebih banyak terdapat di microbiome usus bayi usia 3-6 bulan dengan alergi susu yang alerginya selesai di usia delapan tahun. Namun, hal ini tidak berlaku pada bayi yang alerginya berlanjut sampai besar, meski rentang usia dan jenis alerginya sama.

Bagaimana dengan bayi di atas enam bulan? Tidak ada kaitan antara komposisi 
microbiome dengan berakhirnya alergi susu di kemudian hari.

Di sebuah 
studi, peneliti mengumpulkan bakteri usus dari feses bayi sehat dan bayi dengan alergi susu. Kumpulan mikroba tersebut lalu dimasukkan ke saluran pencernaan tikus yang tidak memiliki microbiome. Hasilnya, bakteri usus dari bayi sehat melindungi tikus dari respons alergi terhadap susu, sementara mikroba dari bayi yang alergi tidak.

Dari hasil studi tadi, ada beberapa kemungkinan:

 

  1. Bulan-bulan awal kehidupan bayi (misalnya usia 3-6 bulan) adalah rentang perkembangan spesifik di mana microbiome usus bisa membentuk alergi makanan, sedangkan microbiome usus di usia yang lebih tua (di atas enam bulan) berefek sedikit atau tidak berdampak sama sekali terhadap pembentukan alergi makanan.
  2. Komposisi microbiome usus mungkin juga bisa berkaitan dengan pembentukan alergi makanan di usia yang lebih tua. Namun, faktor-faktor yang muncul di usia ini mengaburkan sinyal tersebut.


Faktor Pengganggu Microbiome

faktor pengganggu microbiome


Hasil observasi menunjukkan kaitan antara terpaan hal-hal yang bisa mengubah microbiome dengan risiko alergi makanan. Seiring modernisasi masyarakat, orang-orang pindah ke area urban. Semakin banyak bayi yang terlahir secara caesar serta makin banyak orang mengonsumsi antibiotik dan makanan olahan rendah serat. Semua hal ini bisa mengganggu microbiome.

Waktu terjadinya perubahan gaya hidup ini paralel dengan peningkatan tajam kasus alergi makanan dan jenis alergi lain yang mengarah pada beberapa penyebab lingkungan. Penelitian-penelitian terhadap tikus menunjukkan bahwa makanan tinggi lemak menimbulkan perubahan pada microbiome usus yang meningkatkan risiko alergi makanan.

Hasil observasi tadi juga mendukung pendapat bahwa eksposur dan kolonisasi mikroba yang berbeda di masa bayi bisa mengubah risiko pembentukan alergi makanan. Periode ini sangat penting karena meski microbiome usus selalu berubah seumur hidup, perubahan paling cepat terjadi di bulan-bulan pertama kehidupan.

Terkait antibiotik, ketika peneliti mencoba menghilangkan populasi bakteri usus tikus dengan antibiotik, tikus menjadi rentan terhadap alergi makanan. Artinya, bakteri memiliki fungsi penting melindungi tubuh dari alergi.


Microbiome, Usus, dan Alergi Makanan

microbiome usus dan alergi makanan


Usus manusia memiliki dua kelompok utama bakteri, yakni Clostridia dan Bacteroides. Saat peneliti menggunakan tikus yang dibiakkan di lingkungan bebas kuman dan karenanya tidak memiliki microbiome sama sekali, mereka menemukan bahwa Clostridia (dan bukan Bacteroides) mencegah respons alergi makanan ketika dimasukkan ke usus tikus.

Kemungkinan, tikus yang dikolonisasi bakteri Clostridia memiliki sel T lebih banyak. Ini adalah jenis sel yang mengurangi respons imun.

Teori baru pun muncul: jika mikroba yang bersifat melindungi tidak ada, lapisan penghalang di usus melemah. Ini menyebabkan protein makanan meresap ke dalam aliran darah dan berpotensi memicu respons alergi.

Dugaan ini sesuai dengan observasi bahwa alergen makanan teratas (protein tertentu yang ditemukan dalam susu, telur, kacang-kacangan, kedelai, gandum, ikan, dan kerang) ternyata hanya memiliki sedikit kemiripan biokimia.

Kesamaan alergen tersebut adalah kemampuannya menempel di saluran pencernaan. Saluran pencernaan normalnya memecah makanan menjadi serpihan-serpihan kecil yang diserap tubuh sebagai zat gizi.

“Tampaknya ini yang membuat kacang tanah menjadi “juara”, yakni kemampuannya untuk tahan terhadap penguraian di usus,” kata Cathryn Nagler, ahli imunologi di University of Chicago.


Memodifikasi Microbiome untuk Mengatasi Alergi Makanan

modifikasi microbiome


Jadi, lebih baik menyuplai microbiome sehat secara penuh atau menambahkan beberapa mikroba baik saja? Percobaan memberikan microbiome secara utuh dari donor ternyata bisa mengakibatkan kematian. Jadi, peneliti menganggap lebih baik menggunakan spesies tertentu saja. Meski manfaatnya mungkin berkurang, risikonya juga lebih kecil.

Studi-studi tadi dengan jelas menunjukkan bahwa microbiome penting untuk mencegah alergi dan menimbulkan toleransi makanan. Namun, belum diketahui bagaimana seharusnya keragaman dan jenis bakteri microbiome yang diperlukan.

Genetik, diet, dan terpaan lingkungan memengaruhi risiko alergi.  Microbiome hanyalah satu bagian yang berkontribusi pada alergi makanan, tapi para peneliti menduga microbiome juga merupakan faktor besar yang ikut memiliki pengaruh.

Jadi, sudah tahu kan ternyata peran microbiome dalam tubuh sangat penting? Buat kamu yang masih mau baca artikel menarik lainnya tentang microbiome atau kesehatan usus dan kulit, yuk kunjungi Nusantics Blog.

Referensi

Writer: Fitria Rahmadianti

Editor: Serenata Kedang