• Home
  • Blog

share

Adakah Hubungan Microbiome dengan Depresi?

6 Jan 2021

Adakah Hubungan Microbiome dengan Depresi?

Depresi (major depressive disorder/MDD) biasanya dikaitkan dengan gangguan di otak. Namun, peneliti mengungkap bahwa depresi juga bisa disebabkan oleh ketidakseimbangan di usus. Kok bisa, ya?

Menurut artikel di 
psychscenehub.com, MDD itu kompleks. Kondisi ini melibatkan ketidakseimbangan di neurotransmitter (zat yang mengirimkan pesan dari sel saraf ke sel target), disfungsi HPA axis (interaksi antara hipotalamus, kelenjar pituitari, serta kelenjar adrenal), inflamasi, dan Microbiome-Gut-Brain atau MGB axis (interaksi antara microbiome, usus, dan otak).

Penelitian menunjukkan bahwa kehadiran mikrobiota yang abnormal atau 
MGB axis yang disfungsional bisa secara langsung menimbulkan gangguan psikiatris seperti MDD. Karena itu, mengatasi gangguan tersebut bisa meredakan gejala depresi.
 

Hubungan Microbiome dan Depresi

hubungan microbiome dengan depresi


Peneliti epidemiologi telah menemukan hubungan menarik antara usus dan gangguan otak. Contohnya, banyak penderita sindrom iritasi usus juga mengalami depresi. Orang-orang dengan spektrum autisme cenderung memiliki masalah pencernaan. Selain itu, pengidap Parkinson’s rentan merasakan konstipasi.

Peneliti juga melihat peningkatan depresi pada orang-orang yang meminum antibiotik, tapi bukan obat-obatan antivirus atau antijamur yang tidak membahayakan bakteri usus.

Hubungan dua arah antara usus dan otak (pengaruh dari bawah ke atas) dan dari otak ke usus (pengaruh dari atas ke bawah) menunjukkan bahwa MDD adalah penyakit sistemik yang dicirikan oleh disfungsi otak dan periferal.

Menurut hipotesis, perubahan keragaman dan komposisi 
microbiome usus bisa jadi faktor risiko penyebab MDD yang pada gilirannya berperan pada tingkat keparahan gejala depresi.
 

Jenis Mikrobiota yang Berhubungan dengan Depresi

jenis mikrobiota yang berhubungan dengan depresi


Berdasarkan penelitian yang dimuat di jurnal Frontiers in Psychiatry, ada beberapa genus mikrobiota yang kadarnya tinggi pada penderita MDD, yakni Anaerostipes, Blautia, Clostridium, Klebsiella, Lachnospiraceae incertae sedis, Parabacteroides, Parasutterella, Phascolarctobacterium, dan Streptococcus.

Genus lain ditemukan dalam kadar rendah, yakni Bifidobacterium, Dialister, Eschericia/Shigella, Faecalibacterium, dan Ruminococcus. Sementara itu, ada pula yang berbeda-beda, seperti Allstipes, Bacteroides, Megamonas, Oscillibacter, Prevotella, dan Roseburia.

Pada studi lain yang dipublikasikan di jurnal 
Nature Microbiology edisi 4 Februari 2019, peneliti menemukan bahwa dua kelompok bakteri yakni Coprococcus dan Dialister berkurang pada penderita depresi.
 

GABA

GABA


Asam gamma-aminobutirat (GABA) adalah neurotransmitter yang menghambat aktivitas saraf di otak. Ketidakteraturannya berhubungan dengan depresi dan masalah kesehatan mental lain.

Jika mikroba usus harus memiliki GABA, pasti ada mikroba lain yang memproduksinya. Nah, produsen GABA ini bisa jadi tambang emas untuk psikobiotik (pemanfaatan bakteri untuk mengatasi masalah kesehatan mental)!

Seperti dimuat di jurnal 
Nature Microbiology edisi Desember 2018, studi pengamatan otak terhadap 23 orang yang didiagnosis depresi menunjukkan bahwa orang-orang dengan bakteri Bacteroides lebih sedikit memiliki pola hiperaktivitas yang lebih kuat di bagian otak yang disebut prefrontal cortex. Beberapa peneliti mengaitkannya dengan depresi parah.

Pada percobaan berikutnya, peneliti menemukan produsen GABA ada di tiga kelompok bakteri, salah satunya 
Bacteroides.

Lebih jauh, peneliti menemukan bahwa bakteri tersebut menghasilkan GABA di saluran pencernaan tikus, sehingga bisa meningkatkan kadar GABA di otak. Bakteri penghasil GABA mengurangi gejala depresi berupa ketidakberdayaan di hewan tersebut.

Ahli ekologi mikroba Jack Gilbert dan rekan-rekannya menguji potensi terapeutik bakteri penghasil GABA pada tikus. Mereka mengamati bahwa tikus-tikus tadi cenderung tinggal lebih lama di permukaan hangat yang tidak nyaman. Hasil tes toleransi nyeri 
visceral (organ dalam) ini bisa jadi menunjukkan bahwa kadar GABA yang lebih tinggi membuat mereka tenang.

“Jelas bahwa itu (bakteri penghasil GABA) memiliki efek neuromodulator,” kata Gilbert.

Lantas, mengapa bakteri lebih menguntungkan dibanding obat peningkat GABA? Menurut doktor mikrobiologi Phil Strandwitz, bakteri mungkin lebih dari sekadar meningkatkan GABA. Bakteri menghasilkan molekul yang berefek lain pada otak dan tubuh, sehingga juga bisa mengatasi gejala lain depresi.

Mikrobiota usus menghasilkan vitamin larut air dan memengaruhi penyerapan mikronutrien di usus. Karena itu, disbiosis atau ketidakseimbangan 
microbiome bisa mengakibatkan defisiensi mikronutrien yang berkontribusi pada depresi.

Misalnya, 
Bifidobacterium – yang kadarnya sedikit pada penderita MDD – bisa menyintesis riboflavin, niacin, dan folat. Kekurangan folat berkaitan dengan depresi, sedangkan penambahan metil folat manjur untuk mengatasi depresi.

Bagaimana dengan penggunaan antibiotik berkaitan dengan risiko depresi, kecemasan, dan psikosis? Peneliti mengamati bahwa disbiosis yang disebabkan oleh terpaan antibiotik berulang meningkatkan risiko depresi dan kecemasan, tapi tidak dengan psikosis.

 

Potensi Pengembangan Microbiome untuk Mengatasi Depresi

pengembangan microbiome untuk depresi


Penelitian mendukung gagasan bahwa spesies bakteri tertentu berhubungan dengan perilaku depresi. Karena itu, ada potensi klinis substansial bagi pengembangan profil mikroba usus yang berkaitan dengan gangguan depresi.

Prebiotik dan probiotik bisa menjadi pilihan pengobatan potensial untuk depresi. Namun, dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

Sebab, bagaimanapun, studi yang sudah ada baru menunjukkan 
korelasi – bukan hubungan sebab-akibat – antara bakteri usus, hasil metabolismenya, serta gejala neurologis. Banyak penelitian menggunakan model hewan yang tidak mencerminkan sifat dan perilaku manusia secara akurat.

Studi pada manusia pun melibatkan peserta dalam jumlah relatif sedikit dan tidak dapat mengontrol faktor-faktor lain seperti diet, antibiotik, atau antidepresan tidak biasa yang bisa memengaruhi 
microbiome.

Wah, keren banget ya? Meskipun bukan sebab-akibat, tapi tak ada salahnya memelihara kesehatan 
microbiome yang punya korelasi dengan kesehatan tubuh dan mental secara keseluruhan. Yuk, mulai sekarang rajin konsumsi makanan sehat, probiotik, dan prebiotik!

Bagi kamu yang masih penasaran dengan informasi terkait 
microbiome atau kesehatan lainnya, cusss kepo ke Nusantics Blog, ya.

Referensi:

Writer: Fitria Rahmadianti

Editor: Serenata Kedang